Tentang Kata Maaf Dari Politikus - HARIANMERDEKA

Tentang Kata Maaf Dari Politikus



script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script> <ins class="adsbygoogle"      style="display:block; text-align:center;"      data-ad-layout="in-article"      data-ad-format="fluid"      data-ad-client="ca-pub-6620605763579297"      data-ad-slot="2162159251"></ins> <script>      (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); </script>

HARIANMERDEKA.ID,-Watak pembohong politikus itu bukan khas Indonesia, bukan baru jadi sedemikian menor pada hari ini saja. Jadi siapakah para politikus itu? Tidak jelas benar, sejak kapan seorang bisa disebut sebagai politikus. Mungkin sejak geer menganggap dirinya jadi tokoh dan bisa bersilat lidah di depan publik. Ia merasa sah jadi politikus. Tentu saja pilihan kata politikus jauh lebih buruk dari politisi, karena entah bagimana ceritanya ada kata "tikus" di dalamnya. Binatang tikus dalam kultur Indonesia jauh sangat buruk citranya, dibanding misalnya di Perancis yang dipercaya memiliki selera kuliner yang baik. Atau mungkin di Amerika, yang diangap sebagai ikon anak2 karena kelucuan dan kegesitannya. Di Indonesia, sejak lama tikus selalu digambarkan perompak kecil, tidak di sawah, tidak di lumbung, tidak di dalam rumah. Peribahasa tikus mati di lumbung, menggambarkan seorang yang akibat keserakahannya mati dalam keberlimpahan. olitikus jadi tepat benar digambarkan dengan peribahasa "rupa harimau, hati tikus". Orang yang dari luar tampak gagah perkasa, namun sebenarnya nyali keberaniannya kecil sekali. Dan untuk menggambarkan betapa orang bermental pengecut dan pencuri dikatakan sebagai "kucing pergi, tikus menari". Demikianlah politikus beraksi dan kadang2 seolah bersaksi, seolah melakukan pembelaan pada sesuatu. Tapi sebenarnya tak lebih sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Itulah yang dilakukan sekelompok orang yang secara nyaris serempak membela Ratna Sarumpaet saat ia mengaku digebuki. Mukanya bengep. rusak tata rupanya, mengaku dianiaya walau sebenarnya memang sedang dirusaknya sendiri. 


script async src="//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script> <ins class="adsbygoogle"      style="display:block; text-align:center;"      data-ad-layout="in-article"      data-ad-format="fluid"      data-ad-client="ca-pub-6620605763579297"      data-ad-slot="2162159251"></ins> <script>      (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); </script>Beberapa waktu terakhir ada fenomena yang tidak masuk akal di kota saya tinggal, dimana banyak sekali salon yang berubah menjadi klinik kecantikan. Dan bukan saja membesar, beranak pinak, juga mendorong lahirnya sejumlah usaha sejenis. Agak aneh itu terjadi di kota Jogja, yang tak memiliki jejak apalagi legenda tentang kecantikan. Mencari orang Jawa asli yang cantik di Jogja, itu sulit sekali minimal bila dibanding dengan Solo dan Semarang sebagai bagian axis rivalitas kultural Joglosemar. Karena itu orang Jogja, selalu menghibur diri dengan yang penting kan "inner beauty"-nya. Lalu tiba2 Jogja menjadi exportir franchise klinik kecantikan ke seluruh penjuru Indonesia. Aneh tapi nyata, saking kayanya sebuah klinik bahkan sekarang bikin BPR dan merambah bidang2 bisnis lain yang tak terkait langsung dengan bisnis intinya. Belakangan ini, bahkan muncul seminar wagu dengan tema "Buka bisnis Klinik Kecantikan Untung 1000%". Anda tidak salah baca, tanpa malu mereka bilang seribu persen untungnya, bahkan bisnis narkoba saja lewat margin keuntungannya. Mangkanya tidak usah heran, seorang seperti Ratna Sarumpaet yang mengaku2 keturunan intelektual itu mau bayar 90 juta hanya untuk sedot lemak di wajahnya. Dan bukannya tambah cantik, remuk diakibatkannya. Saya cuma berandai2, seandainya ia berhasil kembali memukau. Mungkin ia akan menyarankan tuan capres yang didukungnya untuk melakukan hal yang serupa. Bukankah, sebenarnya problem mereka agak mirip2. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, ia bahkan dianggap berkhianat dengan melakukan pembohongan terhadap semua. Ia menjadi tertuduh tunggal yang akhirnya ramai dipersalahkan karena kelakuan busuknya itu.



Dan tiba2 semua orang yang terlibat di dalmnya meminta maaf! Seolah2 meminta maaf adalah jalan terpendek untuk kembali menjadi seorang yang perawan dari kesalahan. Tidak usah jauh2 membahas para politisi itu! Ada seorang yang saya kenal baik tulisannya di masa lalu, tiba2 menjadi orang yang tiba2 ingin tampak seperti perempuan berhati malaikat dan berwajah bidadari dengan melakukan white campaign. Ia secara bersama2 membela baik Jokowi maupun Prabowo. Ia selalu menunjukkan sisi poistif dari keduanya, dengan mencoba tutup mata terhadap sisi2 buruk keduanya. Dan ia berujung pada titik yang sama, menyebarkan luaskan tentang kasus RS seolah ia benar adanya. Ketika terbukti hal sebaliknya, ia dengan enteng meminta maaf. Ngecaprus lagi seperti biasa! Padahal dia ini seorang dengan gelar Doktor Komunikasi! Artinya di matanya integritas, kredibilitas, dan reputasi ini sesuatu yang bisa sedemikian murah dan mudah dinegasikan dan dinegosiasikan. Jadi bila kalangan intelektual yang berumah di atas angin pun bisa bersikap dan berperilaku sedemikian lentur. Tak heran para politikus itu bisa jauh lebih mudah melakukannya. Mereka pun akan dengan santai berkata: saya pun korban pembohongan itu! Mereka lupa bahwa setiap hari mereka melakukan pembohohongan dan pembodohan itu kepada publik. Dan itu baik2 saja, berlangsung terus, dan follower-nya terus setia membebek di belakangnya. 




Maaf itu baik secara spiritual dan sosial, tetapi malah berlipat busuk dan tengiknya di tangan politisi apalagi akademisi. Saya pikir saat mereka mulai pertama kali berbohong, julukan mereka segera diubah sebagai politikus dan akademikus. Untuk lebih merendahkan kadar integritas mereka! Bagi mereka ini, hukuman sosial apalagi pidana apa pun tak akan membuat mulut mereka terdiam. Mereka akan terus mencericit seperti tikus, mereka akan semakin sering berbohong dan meminta maaf. Itu menjelaskan kenapa tikus2 seperti mereka ini selalu butuh speaker dan TOA, suara dasar mereka cericit sekali tapi selalu ingin tampak besar dengan memanfaatkan media publik yang sama dungunya. Kata maaf dari mereka tak ada nilainya sama sekali, hanya harakiri yang jauh lebih berharga untuk memperbaiki kesalahan mereka. Sayangnya mereka tidak memiliki kultur mulia itu. Kenapa tidak? Ya karena mereka memang sebenarnya hanya tikus-tikus. Apa yang kita pahami sabagai poli-tikus...


This is the code for your widget. Just copy and paste it into your website. New widgets may take up to 30 minutes before they start displaying properly.
Loading...

0 Komentar

Posting Komentar
DMCA.com Protection Status Seedbacklink Banner BlogPartner Backlink.co.id Yusfi Wawan Sepriyadi is an Intellifluence Trusted Blogger