HARIAN MERDEKA.ID|Bagaimana
sejarah Indonesia dituliskan? Saya pikir 80% dasarnya adalah heroisme
militeristik. Figur-figur yang dianggap memiliki peran
melawan penjajah, apa yang kemudian disebut kolonialisme. Bukan kolonialisme
yang sifatnya ekspansif, tetapi kadang kala adalah kolonialisme yang diundang.
Kenapa diundang? Yah karena pada dasarnya, tidak pernah perseteruan (baca:
perang, pertempuran, perebutan kuasa) itu bernilai tunggal. Dalam arti si
penjajah melawan si dijajah; Tetapi di dalamnya terkandung kerumitan yang luar
biasa. Sebagai contoh kasus perang2 di tlatah Mataram saja.
Hal
tersebut selalu mengandung perseteruan lokal, antar saudara, antar faksi, antar
keluarga. Dimana salah satunya mengundang si kolonial untuk datang membantu. Hal
ini menjelaskan kenapa Kompeni (baca: VOC) yang mulanya hanya sebuah serikat
dagang, tiba-tiba harus bangkrut karena biaya perang-nya lebih banyak
daripada keuntungan dagangnya. Padahal sesungguhnya, ia yang mulanya hanya
ingin menguasai daerah2 pelabuhan, terseret2 sampai masuk jauh ke pedalaman.
Perang Jawa yang diniasiasi Diponegoro adalah contoh, bagaimana sesungguhnya
perseteruan internal di Kraton Yogyakarta akhirnya menyeret Kumpeni masuk
sangat jauh dalam urusan2 yang sama sekali bukan dagang. Herosime Diponegoro
inilah yang ingin dicari padanannya di banyak daerah lain: militeristik,
Islamis, dan yang agak visualistik bersorban, berkeris, dan berkuda.
Dalam konteks inilah kita harus memahami awal dari
ditetapkannya Imam Bonjol sebagai pahlawan dari ranah Minang. Awal perang juga
diawali oleh perseteruan antar anak-bangsa, apa yang awalnya disebut
antar-suku, sesama pri-bumi. Perang ini didasari keinginan di kalangan pemimpin
ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan
sunnah Rasullullah. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta
Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam
(bid'ah).
Hal
yang semula perseteruan antara kaum adat dan kaum ulama, yang akhirnya
menyeret2 sampai jauh hingga menjadikan orang Batak Toba sebagai korban.
Bagaimana mungkin? Disinilah masalahnya, barangkali karena Batak Mandailing
yang lebih dulu "diislamkan" menganggap saudara-nya Batak Toba
sebagai "ancaman keimanan"-nya. Sangat absurd, tapi barangkali
menjelaskan pola-pola yang sama yang barangkali di saat ini, auranya justru
sangat kental. Suatu kelompok orang menjadi terlalu mudah merasa terzalimi,
merasa terancam, merasa terpinggirkan, merasa mayoritas tapi kok begini.
Konon sebuah cerita, kaum Padri akhirnya mundur
setelah membantai 75% populasi orang Batak Toba justru akibat kekejaman mereka
sendiri. Mereka juga banyak yang mati terkena penyakit, yang daikibatkan mayat2-mayat yang diterlantarkan begitu saja. Terbukti alam selalu
punya cara sendiri untuk melindungi kaum-kaum yang teraniaya
dari kepunahan. Lalu sebagaimana banyak sejarah klasik terjadi. Pada 1821, kaum
Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda berperang
melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Dengan
kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah pedalaman
Minangkabau. Perlawanan pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian
Masang pada tahun 1824.
Hal
ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi
kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari
Pandai Sikek. Terpola, terstruktur, dan sangat klasik sekali. Ribut sendiri,
bikin kesepakatan, diingkari, ditangkap, lalu dibuang, diasingkan.
Imam Bonjol itu sebagaimana banyak tokoh sejarah
sepanjang masa, dan dimana pun: selalu dalam kondisi ambigu. Terbelah, tapi
menolak kalah. Ia salah tapi dianggap tidak sepenuhnya. Ia berjasa sekaligus
meninggalkan jejak jelek melawan azas kemanusiaan. Ia hanya lakon, yang dibela
tapi sekalgus dicerca. Jika kemudian sejarah kelam itu dibuka kembali, apakah
"kepahlawanan"-nya jadi batal? Saya tidak tahu! Gambarnya sudah
terlanjur ada dalam koleksi mata uang kita. Yang saya tahu, ia menunjukkan
penyesalannya setelah ikut membantai kaum adat dan orang Batak Toba yang tak
lain saudaranya sendiri. Terungkap dalam catatannya: Adopun hukum Kitabullah
banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? Adapun banyak hukum
Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?
Pikiran kita harusnya ya tetap sama: dalam hal sejarah
memaafkan itu satu persoalan, melupakan itu persolan lain. Memaafkan iya,
melupakan tidak dan jangan!
Selamat Lebaran (walau saya tidak), mohon dimaafkan
(walau juga tak perlu dilupakan) segala salah dan khilaf saya. Sungkem!