HARIANMERDEKA.ID|Kenapa
saya harus menyeret-nyeret orang Jawa? Karena pada dasarnya
orang Jawa itu punya sifat dasar pemalu, tidak pedean, dan yang terutama
memiliki filosofi dasar yang sangat "tidak hari" ini yaitu alon-alon
waton kelakon. Dalam konteks inilah, ketika merek mobil ini benar2 nyata orang
pada heboh. Mangkanya jika ada banyak orang yang bersikap nyinyir, bukan saja
lumrah dan wajar, tapi memang dibutuhkan. Kita pakai saja logika mereka, doa
orang yang dizalimi itu makbul! Realitasnya, tidak mudah mentransformasi suatu
gagasan dari semula hanya "mimpi siang bolong seorang desa", yang
jauh dari tradisi industrial kelas global. Dari sekedar gagasan sebuah ruang
praktek sekelas SMK, yang semula hanya ditanggapi sebuah bengkel cat dan
modifikasi di sebuah kota kecil Klaten. Bengkel las ketok mejik, yang walau
konon pernah menjadi jujugan orang kaya untuk memodif mobil-nya sehingga tampil
beda dan berkelas. Tetaplah sebuah mimpi yang ketinggian. Sejatinya, gagasan
"menasional"-kan produk Esemka itu sudah lama layu, ketika bengkel
Sukiyat sudah menarik diri jauh hari sebelum gagasan ini diwujudkan secara
nyata. Ini lagi-lagi persoalan khas orang Jawa, ketika rembugan kerjasama
benar-benar akan diwujudkan pasti akan "mbulet, rumit"
hanya karena membicarakan persoalan bagi-bagi modal dan
saham. Mungkin Sukiyat kaget, ketika melihat kenyataan rendahnya nilai sahamnya
yang dihargai rendah sekali. Skill dan pengalamannya nyaris tak ada artinya.
Sangat khas orang Jawa di era milineal, bagaimana sulitnya mereka "naik kelas".
Karena menghargai diri terlalu tinggi. saat semua pengen jadi sopir!
Berita baiknya, ia kemudian membuat merek sendiri yang
nyaris 100% sahamnya dimilikinya sendiri. Merek "Kiat" yang
diproduksinya walau terbukti hadir, sayangnya sampai hari ini belum lagi kemana-mana. Hal ini menjelaskan bagaimana suatu gagasan besar
itu, di luar butuh keseriusan juga ke-ndableg-an yang juga luar biasa. Konon,
saya dengar Sukiyat tidak diundang dalam peresmian pabrik dan peluncuran mobil
perdana Esemka sehari yang lalu. Khas sekali orang Jawa, bagaimana masalah
emosional selalu dibawa-bawa dalam persoalan bisnis.
Persoalan "kerjasama dasar" yang amburadul sejak awal gagasan itu,
kembali diuji ketika pihak pemegang merek "Esemka" mengajak kerjasama
justru dengan Proton yang dianggap serumpun. Kenapa justru Proton yang diajak?
Bukankah produk mobnas Malaysia ini juga "setengah abal-abal", karena sesungguhnya mereka juga hanya cangkokan
dari Mitsubishi. Lagi-lagi ini bentuk sikap rendah hati dan
kehati2an yang sangat dari pemegang saham Esemka. Mungkin terlalu bersikap
prudent agar tidak dianggap jadi tunggangan produsen mobil Jepang, Eropa,
Amerika, apalagi merek China. Sialnya langkah ini juga gagal total. Karena pada
tahun 2015 silam, kondisi ekondisi Malaysia sedang morat-marit akibat skandal
korupsi yang melanda pemerintahan di bawah PM Nazib Razak. Dari sinilah,
barangkali Esemka juga memperoleh pelajaran yang berharga. Bagaimana agar mobil
ini benar-benar menjaga jarak dengan pemerintah, dan memposisikan
diri sebagai swasta murni. Jangan sampai memperoleh kemudahan atau previlege
khusus dari pemerintah. Mereka sadar betapa sangat rawannya proyek "mobil
lokal" (baca: bukan mobil nasional) berbenturan dengan isu2 sosial-politik
apalagi persaingan bisnis!
Dari titik inilah, barangkali Esemka justru sangat
belajar dari kasus yang pernah mendera proyek-proyek mobil nasional di dalam negeri di masa lalu maupun
justru kontemporer. Yang selalu layu sebelum berkembang. Terlalu over-eksposed,
tapi justru kurang persiapan matang. Bergaya mileneal, tapi omong kosong.
Persoalan besarnya, di luar tentu saja persaingan yang ganas di industri
otomotif tentu saja pilihan komunikasi massa atau public relations yang
dibangun oleh pemegang merek Esemka. Alih-alih berusaha
publish, mereka memilih menahan diri dan sangat tertutup. Mereka tidak berusaha
hadir dan melakukan pre-launching atau soft-launching di banyak event pameran
nasional. Di sinilah kritik dilontarkan banyak awak media otomotif nasional,
yang memang kerjanya adalah "menyinyiri" sebuah produk baru. Mereka
tentu butuh menguliti (baca: membully) sebuah produk, yang ujung2nya hanya sekedar
mengejar tayang "jumlah view" youtube. Dan lagi2 konon, tak banyak
para youtuber otomotif yang diundang. Ini sangat terasa, ketika Ridwan Hanief,
youtuber otomotif favorit saya ikut bicara. Tampak sekali, walau ia berusaha
bersikap bijak.
Namun
komentar-komentarnya justru seolah memberi energi baru bagi para musuh
Jokowi. Jadi sangat tidak fair membandingkan, misalnya Esemka dengan Vinfast,
yang di belakangnya ada konglomerat Vietnam yang memilih membuat mobil dengan
pendekatan segmen kelas paling atas. Dengan menggandeng BMW. GM, dan Pirafinna.
Akhirnya yang terjadi adalah ia dihajar oleh banyak para lawan politik Jokowi
sebagai produk aseng. Tak lebih reproduksi atau istilah yang populer hari ini
sebagai rebatch produk China. Tahu arti rebatch? Itu sejenis copy paste atau
sekumpulan barang tiruan. Lagi-lagi ini
menunjukkan karakter "kejawaan" dari produk Esemka yang sesungguhnya
memang berupa tumpukan pengalaman bergaul dengan budaya dari berbagai bangsa itu.
Bisa dimengerti bila ia malu-malu dan gak pede.
Kejam!
Sekali lagi, Esemka itu pada akhirnya sangat Jokowi
sekali. Bedanya walau ia Sala, tapi sama sekali bukan Solo. Karakter Solo yang
dalam segitiga kultural Joglo Semar, dikenal berkarakter "seneng
umuk" (baca: suka sombong) nyaris tak terlihat. Ia memilih bersikap rendah
hati (walau sama sekali tidak rendah diri). Ia memilih sekali lagi alon-alon
waton kelakon, pelan tapi nyampe. Sebagaimana gaya Jokowi bergerak mulai dari
pengusaha, walikota, lalu jadi Gubernur hingga akhirnya jadi Presiden dua
periode. Esemka harus dipahami justru sudah mulai menyemai benih, mulai menanam
dengan sangat baik. Ia mulai dari cara yang sangat "lembah manah",
membumi dari produk yang paling sederhana dan dibutuhkan. Dari segmen paling
bawah, dimana mereka akan pelan2 bergerak naik dan berkembang. Ia bergerak
dinamis, tapi bersikap evolutif. Bagi saya njawani sekali.
Lalu bagaimana kita bersikap terhadap para penyinyir
tanpa prestasi itu. Yang prestasinya hanya menaikkan rating media atau view
para youtuber itu. Ya sesuai dengan nama merek-nya kita mesem saja. Tersenyum
manis saja. Toh tersenyum itu ibadah paling murah dan mudah.
Berikan esem-mu saja!
0 Komentar