![]() |
Penulis: Rifan Azzam Amrulloh, S.H (Praktisi Hukum) |
HARIANMERDEKA.ID|Berjalannya
proses hukum dalam kasus dugaan Korupsi yang
dilakukan oleh eks Menteri Sosial, Juliari Batubara di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta membuka sebuah langkah progresif penerapan ilmu hukum dalam
proses peradilan. Hal tersebut sejalan dengan dimunculkannya permohonan gugatan
ganti kerugian oleh belasan korban yang merasa dirugikan kaitannya dengan
dugaan korupsi bansos, yang artinya terdapat permohonan penggabungan antara
perkara pidana dengan perkara perdata (ganti rugi).
Cuman sayangnya dalam
proses berjalannya pelaporan permohonan tersebut terdapat penetapan yang tidak
menggambarkan langkah progrsif oleh Majelis Hakim. Pada tanggal 13 Juli 2021,
hakim menetapkan menolak permohonan para pemohon melalui kuasanya untuk
menggabungkan pemeriksaan secara perdata gugatan ganti kerugian dengan perkara
Tipikor. Alasan hakim menolak penggabungan perkara tersebut didasari oleh
ketentuan hukum, seperti Pasal 118 ayat (1) yang menentukan bahwa yang
berwenang mengadili suatu perkara adalah pengadilan negeri setempat.
Pisau analisis hukum kaitannya dengan perundang-undangan yang dipakai oleh hakim menunjukan bahwa peradilan belum bisa menunjukan cita-cita hukum secara esensial dan holistik dari mulai sebab dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi. Sebagaimana menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai, yaitu: Asas Kepastian Hukum; Asas Keadilan Hukum; dan Asas Kemanfaatan Hukum.
Sehingga
jika ditimbang dari ketiga asas tersebut kemudian dikaitkan dengan proses hukum
dugaan korupsi oleh eks Menteri Sosial Juliari Batubara kaitannya dengan
penolakan hakim tentang penggubangan perkara pidana dan perkara perdata
terdapat cacatan kritis.
Pertama,
menimbang secara asas kepastian hukum. Menurut Utrecht kepastian
hukum mengandung dua pengertian; pertama adanya aturan yang bersifat umum
membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap
individu. Aturan umum tersebut menggambarkan bahwa kepastian hukum
merupakan sesuatu yang belandasakan kepada peraturan perundang-undangan yang
ada.
Jadi, jika dianalisis
berdasarkan definisi umum tentang asas kepastian hukum, pengajuan permohonan
ganti kerugian terhadap tindak pidana korupsi merupakan serangkaian kesepakatan
Internasional melalui Konvensi PBB melawan korupsi yang diadopsi oleh sidang
ke-58 Majelis Umum, Pasal 35 melalui Resolusi No. 58/4 pada tanggal 31 Okotber
2003 menyebutkan bahwa negara wajib untuk menjamin adanya hak mengajukan
tuntutan hukum terhadap pelaku kajahatan atas kerugian untuk memperoleh
kompensasi, yang kemudian turunan kesepakatan itu diratifikasi oleh Negara
Indonesia menjadi UU No. 7 tahun 2006. Inilah yang menjadi dasar normatif
yuridis pengajuan permohonan ganti kerugian.
Kemudian kaitannya dengan
pengabungan perkara gugatan ganti kerugian juga diatur dalam Pasal 98-101
KUHAP, pasal 98 ayat (2) menjelaskan permintaan penggabungan perkara hanya
dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntutan, itu sudah terpenuhi oleh
penggugat. Dari penjabaran pasal-pasal tersebut juga menjelaskan bahwa majelis
hakim tipikor Jakarta mempunyai kompentensi absolut untuk memberikan putusan
kaitannya ganti kerugian.
Analisis selanjutnya
kaitannya dengan asas kepastian hukum, majelis hakim tidak mempertimbangkan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menjelaskan tentang asas peradilan yang cepat, dan sederhana. Artinya jika
kasus ganti kerugian dipisahkan proses hukumnya akan jelas akan memakan waktu
yang lama, dan biaya yang banyak pula, sehingga pengadilan tidak akan
melaksanakan asas peradilan yang baik yaitu proses peradilan yang cepat. Ini
akan mempersulit bagi rakyat yang memiliki keterbatasan biaya.
Kedua, menimbang
secara asas keadilan. menurut Satjipto Rahardjo merumuskan konsep keadilan bagaimana
bisa menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas
persamaan hak dan kewajiban. Namun harus juga diperhatikan kesesuaian mekanisme
yang digunakan oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan
kemudian menerapkan sanksi terhadap para anggota masyarakat berdasarkan
peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan yaitu substantif.
Terdapat ketidaksesuaian
mekanisme pencairan bansos ini, yaitu merujuk pada surat dakwaan eks Menteri
Sosial Juliari Batubara, terdapat potongan Rp 10 ribu dari total nilai paket
bansos seharga Rp 300 ribu. Sehingga total jumlah nilai suap yang diduga
didapat oleh Juliari sebanyak Rp 32 M terkait dengan menunjukan rekanan
penyedia covid-19 di Kemensos. Ini menunjukan bahwa apa yang seharusnya didapat
oleh masyarakat yang terdaftar sebagai keluarga penerima manfaat bansos secara
kuantittas tidak sesuai ketentuan dan kualitas barang sembako buruk. Sedangkan
jika merujuk asas keadilan, dimana terdapat kesamaan antara hak dan kewajiban,
kejadian ini menciderai rasa keadilan yang dirasakan langsung oleh masyarakat,
apa yang seharusya didapat oleh masyarakat berbeda dengan realita
penyalurannya.
Ketiga, menimbang asas
kebermanfaatan. adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum.
Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan, seyogyanya
dipertimbangkan asas kemanfaatan. Contoh konkret misalnya, dalam menerapkan
ancaman pidana mati kepada seseorang yang telah melakukan pembunuhan, dapat
mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman kepada terdakwa sendiri dan
masyarakat. Kalau hukuman mati dianggap lebih bermanfaat bagi masyarakat,
hukuman mati itulah yang dijatuhkan.
Merujuk pada pengertian
diatas, kaitannya dengan kasus ini, terdapat kerugian secara langsung yang
dirasakan oleh masyarakat. Apalagi dalam masa-masa sulit seperti ini, dimana
masyaralat sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah untuk memenuhi ekonomi
dalam masa pandemi covid-19. Untuk penangannya juga sebetulnya sudah ditentukan
oleh isi pasal UU No. 6 Tahun 2018 tetang Karantina Kesehatan, seperti dalam
isi Pasal 49 yang menyebutkan bahwa “dalam rangka melakukan tindakan mitigasi
faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau
pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan”. Dimana
dalam karantina kesehatan ini ada kewajiban Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat.
Ketika pemerintah mecoba
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang terdampat, bansos tersebut kemudian
secara kuantitas dan bahkan kualitas tidak sesuai dengan mekanisme yang telah
ditentutkan. Sehingga kaitannya ganti kerugian dalam proses ini melalui
penggabungan perkara pidana dan perdata untuk memberikan kebermanafaatan kepada
para keluarga penerima manfaat yang merasa dirugikan secara haknya. Dari 3
unsur yang terkandung dalam cita-cita hukum dalam system peradilan, harus
ditegakan sesuai dengan definisi dan penerapan setiap unsurnya, bahwa 3 unsur
tersebut mempunyai pandangan berbeda tapi tidak bisa terpisahkan satu sama
lainnya, artinya saling melengkapi dalam pengambilan keputusan oleh Hakim.
Sebagai penutup, masalah
ganti rugi tunduk pada hukum perdata, oleh karenanya peradilan yang berwenang
untuk memeriksa gugatan ganti rugi ini adalah peradilan perdata dengan Hakim
Perdata. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan pidana.
Tetapi dengan adanya hubungan positif pada Pasal 98 Undang-Undang No.8 Tahun
1981 dan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menggabungkan gugatan
ganti rugi pada perkara pidananya dalam waktu yang bersamaan, maka apa yang ada
di hukum perdata dan hukum pidana dapat dipertemukan.
0 Komentar