Mengutip Nietzche, Membuka Mata - HARIANMERDEKA

Mengutip Nietzche, Membuka Mata


 


Penulis : Adhi P Hermawan

(Koordinator Forum Pemuda Kreatif Brebes)

“Setiap karya kebajikan bagaikan sebuah bintang

yang cahayanya akan terus menerus berjalan tiada henti.” (Friedrich Nietzsche)



HARIANMERDEKA.ID|Pandemi masih bertengger bahkan masih menyelimut hangat di belahan bumi. Herd immunity yang sudah berhasil dicapai oleh beberapa Negara di eropa, malah mereka tengah menyelenggarakan liga sepakbola, yang membuat iri warga Negara Indonesia. Kenapa mereka bisa, sedangkan di negeri ini masih berkutat dengan peraturan-peraturan yang kian ketat terkait pencegahan virus covid-19 ? Sebuah kalimat basi yang hanya dianggap retorik atau mungkin saja sebagian orang belum paham.  Berbagai meme ketidakpuasan terhadap keadaan yang terus mengikis tipis roda ekonomi, kekecewaan dan kegelisahan masyarakat Indonesia berterbangan mengisi status media sosial whatsaap, Facebook, instagram, twitters, bahkan coretan pilok bernada keras menguras kalimat cacimaki pada tembok-tembok sebuah bangunan.

Ajakan-ajakan sosial untuk peduli sesama manusia juga muncul sebagai rasa empati. Mulai dari menjaga tetangga yang terdampak peraturan-peraturan terkait pandemi ataupun memang sedang menjalani isolasi mandiri (isoman) agar tidak kekurangan pangan, obat-obatan serta kesengsaraan lainnya. Masyarakat ‘berkumpul’ membuat kesepakatan untuk melakukan gerakan sosial, ada yang berdasarkan persamaan keyakinan, komunitas hobi, organisasi masyarakat, atau organisasi politik (Partai Solidaritas Indonesia, misalnya yang secara exteme menghimbau anggota partainya yang duduk di DPRD seluruh wilayah Indonesia untuk memotong gaji/ menggunakan seluruh gajinya dianggarkan sepenuhnya untuk bantuan rakyat dimasa pandemi). Pandemi berkepanjangan ini telah menggugah persamaan rasa dan nasib ditengah-tengah penderitaan masyarakat. Masyarakat tetap berkeyakinan gotongroyong meski sederhana dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun masyarakat seharusnya juga menyadari akar dari segala persoalan yang ada tentang terjadinya pandemi. Berbuat kebajikan amatlah menyenangkan bila tulus dilakukan tanpa adanya sebuah tuntutan nafsu, karena pada dasarnya, menurut Plato “bahwa orang itu baik apabila ia dikuasai oleh akal budi, buruk apabila ia dikuasai oleh keinginan dan hawa nafsu”. Dan suatu perbuatan baik tidak akan mengenal ras, agama maupun suku, dengan demikian nilai-nilai suatu kebajikan akan terus bersinar.

“manusia-manusia masa kini tidak bisa memakai topeng-topeng yang lebih baik, kecuali wajah-wajah kalian sendiri.” (Friedrich Nietzsche)

Balok-balok beton berjajar rapi, menutup jalanan, hingga seekor tikuspun tak bisa melintas. Masyarakat panik, marah, bingung lalu mencaci. Belum lagi pemberlakukan jam malam, yang adalah jam-jam operasional sebagian orang mencari penghasilan menghidupi diri dan keluarganya. 


Berbagai aturan-aturan penanganan pandemi memang tak jarang pula menimbulkan polemik. Masyarakat banyak menolak tetapi aturan tetaplah aturan yang harus dibuat demi mewujudkan ketertiban serta keselamatan, toh lebih baik adanya aturan hukum ketimbang terjadi kekosongan hukum. Tak terbayangkan masyarakat kelak menjadi chaos. 



Bila ada suatu pelanggaran yang dilakukan penegak hukum maka itu adalah kebocoran sumber daya manusianya. Lihatlah beberapa kasus yang terjadi diberbagai daerah, saat para pengemban tugas ingin menegakkan aturan yang berlaku. Pemukulan yang dilakukan seorang oknum Satpol PP di Gowa terhadap ibu hami serta suami pemilik kedai kopi, yang tengah menjadi sorotan masyarakat dan juga bahan bully para netizen. Hanya sebagian contoh bahwa memang manusia selalu menampilkan wataknya yang telah terkontaminasi oleh nafsu, meskipun sudah terbalut oleh jubah mewah berkilau emas. 



Zaman yang lebih transparan, membuat manusia harus lebih pandai lagi menyembunyikan topeng aslinyanya, kecuali wajah mereka adalah murni pancaran kebaikan. Tentu akan memudahkan suatu institusi untuk menggunakan diri mereka demi terciptanya ketertiban, kedamaian dan keselarasan. Sebuah kalimat pun terucap “Jangan memberi pekerjaan untuk mengurus anak kecil pada seorang psikopat, karena dia tidak memiliki emosi, perasaan, dan hati nurani”.


Penulis :Adhi P. Hermawan

0 Komentar

Posting Komentar
DMCA.com Protection Status Seedbacklink Banner BlogPartner Backlink.co.id Yusfi Wawan Sepriyadi is an Intellifluence Trusted Blogger