Atas Dasar Apa Desakan Agar Negara Indonesia Berlandaskan Idiologi Islam?



HARIANMERDEKA.ID-Berbagai pertanyaan pun muncul, atas dasar apa komitmen kebangsaan sejak era kemerdekaan itu di aklamasikan oleh para pendahulu kita, kini dipertanyakan ke absahannya, apalagi ada pihak yang menyatakan bahwa kesepakatan dijadikannya ideologi Pancasila itu sebagai buatan Soekarno dan bukan merupakan kesepakatan ulama. Hal itu disampaikan oleh KH. Achmad Zen dari videonya yang tersebar luas di media masa yang viral baru-baru ini, yang mengesankan jika NKRI ini seolah-olah hanya difaktakan sekelas forum RT dan RW yang begitu mudahnya untuk dirubah-rubah, sehingga begitu gampangnya dirinya menyatakan pendapatnya itu dimuka umum.

Bahkan pada pemberitaan Terkini.id tertanggal 29 juli 2022 lalu, menuliskan dari tayangan video dari video itu yang memperlihatkan pendakwah tersebut dengan terang-terangan menyebutkan jika Pancasila itu bukan sebagai hasil dari kesepakatan ulama melainkan pengkhianatan Soekarno, viral di media sosial. Bahkan lanjutnya ; "Pancasila bisa menjawab apa? Hutang gede, kemana Pancasila? LGBT merajalela, kemana Pancasila? Ulama-ulama dikriminalisasi," demikian tandasnya. Sontaknya ungkapannya ini mengundang kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan Islam itu sendiri.

Ulama yang disinyalir berlatar belakang HTI ini tentu dimaklumi sebagai pihak pengusung Khilafah, dimana sasarannya pun sudah barang tentu agar Pancasila digantikan dengan ideologi sebagaimana yang mereka inginkan. Walau dibalik itu dipahami bahwa pelindung kekokohan pancasila itu pun datangnya bukan dari sekedar segelintir pihak saja. Sebut saja ada Organisasi besar islam yang sudah masyhur namanya yaitu NU dan Muhammadiyah, sebab kedua Tokoh pendiri organisasi inilah yang diketahui masyarakat sebagai pihak menyepakati tegaknya Pancasila itu sebagai landasan prinsipil bagi ideologi bangsa kita hingga saat ini.

Keberanian dan sikap kritik yang berlandaskan UU pasal 28 dalam upaya merespon berbagai persoalan bangsa sebenarnya sah-sah saja dilakukan oleh siapapun sebagai bagian dari putra-putri negeri ini. Namun tentu saja hal itu dibenarkan manakala kritik yang disampaikan merupakan fakta dan realita yang terjadi baik sesuatu yang bersifat sejarah atau pun kebijakan-kebijakan pemerintah yang perlu direspon sebagai upaya perbaikan sekaligus koreksi atas hal-hal yang sepatutnya diluruskan. Namun sandaran pendapat dimuka umum itu harus dilandasi alat bukti yang cukup serta legal standing yang kuat agar dapat disandingkan dengan fakta sejarahnya.

Komentar pun datang dari Direktur Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi yang menyatakan bahwa pendapat yang disampaikan oleh Ahcmad zen itu diduga bersumber dari mendengarkan cerita dari orang lain yang lantas menyimpulkannya secara pribadi lantas bersumpah atas ceritanya tersebut. Sebab bagaimana pun KH. Achmad Zen itu bukanlah saksi sejarah yang memiliki bukti yang valid dalam pengungkapan dari apa yang disebutnya pengkhianatan Soekarno tersebut. Disamping itu, beliau acapkali terlihat aktif mengunggah ceramahnya di sosial media YouTube yang bernama Ahmad Zen el-Husna.

Maka tak heran dari para kelompok ini, komentar yang menyebutkan pemerintah melakukan tekanan terhadap ulama-ulama islam kerap kali dikobarkan dari apa yang mereka sebut sebagai islamofobia, yang seakan-akan pemerintah melakukan tekanan sistematis kearah tokoh-tokoh islam yang berseberangan. Padahal ungkapan itu justru sengaja dimunculkan agar pemerintah menjadi gamang hingga melonggarkan gerakan ini untuk melakukan upaya terstruktur, sistematis dan masif guna berkembangnya pergerakan khilafah yang diusungnya. Disinilah aparat hukum harus cermat melihat persoalan ini secara jernih tentunya.

Sesungguhnya gerakan mereka tidak mewakili NU dan Muhammadiyah secara formal, sebab tidak ada pernyataan resmi dari kedua ormas besar tersebut untuk mendukung aksi-aksi yang mereka sampaikan secara terbuka. Bahkan dalam beberapa kesempatan, justru kedua ormas islam itu terlihat keras dan tegas untuk menolak keberadaan mereka di bumi Pertiwi ini, namun legitimasi penangkapan dan penertiban bukan merupakan wilayah kewenangan kedua ormas tersebut. Sehingga pemerintah harus segera melakukan evaluasi yang dalam terhadap keberlanjutan gerakan khilafah ini yang masih terus dilakukan oleh oknum-oknumnya, pasca pelarangan kegiatan organisasinya.

Pernyataan muthasyar PBNU, KH. Muchith Muzadi yang menyatakan bahwa NU memiliki khittah (landasan) sendiri. NU tidak memaksakan syariat Islam dalam sebuah negara, apalagi dengan cara kekerasan. Berbeda dengan kelompok liberal yang menolak syariat agama dalam bentuk apapun. Hal tersebut beliau sampaikan kepada NU Online sejak 21/8/2007 silam. Ditambah lagi dengan pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mensinyalir bahwa masih ada kelompok Islam yang membela sistem khilafah. Padahal, menurut dia, para pendiri negeri ini, termasuk tokoh Muhammadiyah telah bersepakat bahwa Indonesia adalah negara Pancasila.

 

Penulis : Andi Salim (Ketua Umum Toleransi Indonesia)



0 Komentar

Posting Komentar
HarianMerdeka Network mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.Kirim lewat WA Center: 085951756703
DMCA.com Protection Status