HARIANMERDEKA. ID-Selama ini jarang orang yang sungguh sungguh paham dengan yang namanya kredit program bersubsidi pemerintah yang namanya Kredit Usaha Rakyat (KUR), dikira KUR itu adalah kredit program pemerintah model channeling, alias pemerintah gelontorkan uang dari sumber APBN secara langsung melalui bank, dimana bank hanya dalam posisi sebagai lembaga penyalur kredit program tersebut. Padahal, program ini modelnya adalah program kredit bersubsidi.
Uang KUR adalah uang milik bank sendiri yang dipinjamkan oleh Bank kepada nasabahnya. Bukan uang pemerintah seperti model channeling seperti biasanya.
Bank yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyalurkan KUR ini akan mengikuti aturan main yang dibuat oleh Pemerintah. Kebijakannya dibentuk dibentuk oleh Peraturan Presiden dan Peraturan Menko Perekenomian.
Adapaun kebijakan tahun 2023 tersebut adalah : bank penyalur akan mendapatkan subsidi bunga dari APBN sebesar 13 persen, pinjaman yang dimasukkan dalam program KUR itu dianggarkan tahun 2023 adalah sebesar 460 trilyun.
Artinya bank penyalur KUR itu akan mendapatkan uang bantuan negara sebesar 59,8 trilyun jika salurkan sesuai target. Sementara selama ini penyaluran KUR dalam 3 tahun terakhir malah melebihi target terus.
Itu belum lagi bantuan pemerintah jika kreditnya macet dari nasabah. Bank akan mendapat bantuan lagi berupa Imbal Jasa Penjaminan ( IJP) jika uangnya macet di nasabah sebesar 70 persen. Alias jika macet 70 persen pemerintah yang tanggung bebannya. Selama ini kredit macet KUR adalah pengalaman tahun 2022 sebesar 1,1 persen.
Artinya jika asumsi prosentase kredit macet pakai ukuran tahun lalu maka tahun 2023 ini akan ada anggaran pemerintah untuk bantuan IJP kepada Bank itu kurang lebih 5,06 trilyun.
Jadi untuk rencana tahun 2023 ini saja, pemerintah akan memberikan bantuan kepada bank yang bersumber dari pajak yang dibayar dari keringat rakyat sebesar kurang lebih 64,86 trilyun kepada Bankir.
Bank kenapa begitu semangat menyalurkan program KUR dan bahkan 3 tahun terakhir ini hingga melebihi target? Karena bankir bankir itu menikmati keuntungan yang besar dari KUR.
Pemerintah juga menetapkan batas penyaluran bunga kredit pada tahun 2023 adalah sebesar 3 persen. Ini artinya bank masih akan menerima selisih dari bunga subsidi sebesar 10 persen.
Jika ditambah dengan biaya modal (cost of fund) kurang lebih 3 persen dari bank maka bank penyalur akan menangguk untung sebesar 7 persen dengan resiko yang kecil dan bahkan nyaris tidak ada. Jadi bank penyalur KUR secara bersih akan menerima keuntungan sebesar Rp.32,2 trilyun dari negara.
Aturan main selanjutnya adalah bank tidak boleh menyalurkan dengan tingkat bunga di bawah 3 persen kepada nasabah KUR, pinjaman kepada nasabah boleh sampai 500 juta.
Ini adalah aturan yang jelas sudah moral hazard. Bagi mereka yang sudah dapat meminjam uang ke bank dengan plafon hingga 500 juta tentu bukanlah orang yang layak untuk mendapatkan bantuan atau subsidi negara yang berasal dari uang rakyat. Sebab mereka sudah pasti memiliki kemampuan ekonomi untuk mengakses kredit komersial bank. Ini juga menyalahi tujuan kredit program KUR sendiri, untuk membantu rakyat kecil, terutama usaha mikro.
Usaha mikro sendiri, yang jumlahnya saat ini sebanyak 64 Juta atau 99,6 persen dari pelaku usaha kita itu selama ini kesulitan untuk mengakses modal dari bank. Mereka selama ini akhirnya banyak yang terjerat oleh rentenir dengan bunga mencekik hingga 20 -30 persen per tahun. Menurut Bank Indonesia, tahun 2021 usaha mikro itu hanya mendapat pinjaman dari bank sebesar 3 persen dari total rasio kredit perbankkan secara keseluruhan.
Jadi, program KUR ini sebetulnya adalah hanya untungkan bankir. Mereka para bankir akan mendapatkan keuntungan yang tinggi dari hasil memeras uang rakyat dengan resiko yang nyaris tidak ada.
Apalagi penyalur dari bank itu adalah paling besar porsinya adalah bank BRI dan Bank BUMN lainya. Bank BRI sendiri saja dalam rata rata 3 tahun menyalurkan hampir 68 persen. Artinya BRI mengambil keuntungan dari uang negara sebesar Rp.21,77 trilyun. Belum Bank BUMN lainya.
Bank- bank itu eksekutifnya tentu akan mendapatkan bonus karena keutungan yang diraih, juga termasuk pemegang sahamnya yang mana saham publiknya juga dinikmati oleh orang asing. Sebut saja misalnya BRI yang saham publiknya sudah di atas 80 persen dimiliki asing.
Adalah sangat tidak elok, uang rakyat dari pajak disubsidikan untuk dinikmati sebagai bonus keuntungan bagi para eksekutif, dan juga apalagi diberikan kepada orang asing bukan serta dianggap sebagai bentuk capaian kinerja Menteri BUMN. Sementara rakyat sedang hidup tercekik ekonominya dan jadi korban pinjaman rentenir.
Jakarta, 12 Februari 2023
Suroto
Ketua AKSES Indonesia
0 Komentar