Tidak ada yang Menginginkan SMI Mundur dari Jabatannya - HARIANMERDEKA

Tidak ada yang Menginginkan SMI Mundur dari Jabatannya

 


HARIANMERDEKA.ID-Ketika seseorang menduduki suatu jabatan, alangkah naifnya jika suatu dirinya berkata bahwa dia seorang yang JUJUR. Mengapa begitu pentingnya pernyataan itu disampaikannya. Apakah benar dirinya pada kondisi yang benar-benar jujur hingga dapat dipercaya. Bagaimana menilai seseorang memiliki kejujuran yang tinggi.

Apakah kejujuran itu sudah menjadi barang yang langka hingga pasokannya mengalami penurunan dari adanya 6 agama yang diakui di Indonesia. Bahkan tak tanggung-tanggung, berdasarkan survei komprehensif yang dilakukan oleh majalah CEOWORLD dan Institut Kebijakan Bisnis Global pada tahun 2020 lalu, tingkat keagamaan dari 148 negara pesertanya pun diukur. Hasilnya Indonesia menempati posisi no 7 dengan predikat sebagai negara paling religius didunia.

Sesungguhnya ini bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan, melainkan tamparan keras terhadap realitas moral bangsa ini. Sebab betapa tidak, indeks persepsi korupsi Indonesia yang berada diurutan 96 nyaris berada dibarisan kumuh dari 50% negara di dunia yang tidak perduli pada penerapan Good Governance. 

Sehingga dugaan masyarakat bahwa pemerintah sudah tidak lagi fokus dalam pemberantasan korupsi dibalik tingginya gedung KPK yang menjulang tanpa prestasi. Indeks persepsi korupsi yang landai ini menampakkan mental pejabatnya yang bobrok dalam menduduki setiap jabatan publik di segala posisi manapun. Padahal dalam sebuah negara, faktor agama sedikitnya memiliki peranan yang mampu mempengaruhi kemajuan sebuah bangsa.

Peranan agama setidaknya menjadi faktor pemersatu bangsa, sebagai pengurai residu terhadap proses politik dan kekuasaan, serta sebagai legitimasi pengakuan sistem politik, dan yang terakhir, sekaligus menjadi sumber moralitas generasi muda bangsa ini. 

Namun faktanya menjadi berbeda, manakala masyarakat menyimak Indeks persepsi korupsi yang justru menampakkan betapa merosotnya mental para pejabat yang kian bobrok sekaligus mempertanyakan sisi moralitas kalangan petinggi negeri ini hingga tidak lagi mencerminkan nilai-nilai agama dalam menduduki setiap jabatan publik, baik ditingkat pusat mau pun daerah. 

Penerapan Good Governance tidak lagi dianggap sebagai langkah yang efektif untuk mencegah, menghambat dan mempersulit seseorang melakukan tindakan korupsi. 

Padahal dibalik pokok penerapannya seperti Transparancy, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness, dimana penerapan prinsip-prinsip ini semestinya berdampak pada bobot yang bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih dan konsekuen. 

Minimnya pejabat yang berintegritas tinggi tersebut terlihat pada Pejabat Eselon III dan IV yang merupakan struktur jabatan strategis karena berhadapan langsung dengan masyarakat yang bersifat aplikatif dan praktis. Namun pada kenyataannya mereka justru tidak memiliki kecerdasan yang profesional.

Faktor Kecerdasan yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapi yang berimplikasi pada kemampuan mental, pikiran dan kepedulian untuk selanjutnya dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif terhadap tugas dan fungsinya.

Sedikitnya para pejabat itu memiliki kecerdasan yang bersifat implementatif yaitu kecerdasan untuk melaksanakan rencana atau program yang telah disusun secara detail dan terperinci, serta pemikiran yang bersifat konstruktif dalam mengaplikasikan pembangunan, sekaligus melakukan pembinaan,  pengawasan dan perawatannya secara konsisten.

 Termasuk kecerdasan adaptif yang berkaitan erat dengan kondisi lingkungan untuk memunculkan inovasi baru yang kreatif serta proaktif terhadap dinamika perubahan. 

Hal tersebut menjadi penting oleh karena faktor kepedulian menjadi tonggak yang sulit dipungkiri pada era digital saat ini. Sebab social awareness atau faktor kepedulian, merupakan kemampuan seorang pejabat untuk bisa membaca, menyadari, serta memahami apa yang dialami oleh masyarakat disekitar lingkungannya. 


Pemahaman semacam ini menjadi dasar bagi setiap pejabat yang bersentuhan langsung terhadap masyarakat untuk bertindak secara cepat dan tepat terhadap dampak pembangunan yang dikerjakannya. Sehingga mereka malah tidak sibuk mengurusi urusan pribadinya, termasuk memperkaya diri sendiri hingga mengabaikan keberadaan dirinya terhadap posisi yang diembannya. Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada kinerja dan pencapaian yang dihasilkan olehnya. Keberadaan mereka sesungguhnya bukan menjadi penekan bagi pihak lain, namun justru sebagai pelayan untuk memudahkan dan meluruskan berbagai persoalan yang terkait pada ketentuan aturan dan perundang-undangan sehingga penerapan dan verifikasi yang berlaku tidak semestinya kaku hingga sering menjadi tumpang tindih dalam pemberlakuan syarat formalitasnya.


Terlepas dari itu semua, saat ini kritik terhadap pemerintah, khususnya di sektor kementerian keuangan membawa dampak serius terhadap semangat kepatuhan dalam membayar pajak terganggu. Dimana oknum pejabat mereka yang duduk pada eselon III dan IV disinyalir mengalami persoalan serius pada praktek-prakter ilegal. Hal itu terlihat dari gaya hidup keluarga serta banyaknya harta kekayaan mereka, termasuk berbagai transaksi yang mencurigakan hingga bernilai ratusan milyar. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md. menjelaskan terdapat transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp300 triliun yang merupakan akumulasi sejak 2009 hingga 2023. Dimana transaksi yang mencurigakan tersebut melibatkan 460 pegawai pajak. Betapa jumlah ini sebenarnya terbilang sedikit.


Kasus ini pun bagaikan sambaran petir disiang bolong khususnya bagi kemenkeu Sri Mulyani yang menjadi pucuk pimpinannya, sebab selain beliau dikenal masyarakat sebagai sosok yang sangat berprestasi selama duduk di kabinet jokowi sejak 2014 silam. Beliau pun dipercaya memiliki integritas yang baik terhadap bangsa dan negara ini. Jika pun Mahfud MD. Mengungkapkan kasus yang menerpa kementeriannya, tidak berarti Mahfud MD. dan segenap rakyat Indonesia menginginkan pengunduran dirinya yang masih dipercaya memimpin kementerian keuangan tersebut. Cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh Kapolri, Listyo Sigit Prabowo dalam mengungkapkan berbagai borok internalnya bisa dijadikan contoh. Membongkar kasus para bawahan yang melanggar ketentuan dan perundang-undangan adalah cara yang efektif guna membersihkan jajaran personil yang bercokol didalam.


Bagi seseorang yang memahami sikap integritas tinggi terhadap bangsa dan negara, tentunya memiliki prinsip bahwa pelanggaran hukum tidak boleh ditolerir sedikit pun. Bagi golongan yang melakukan perbuatan korupsi, tentu saja sudah paham bahwa mereka akan menjadi musuh dan harus dipisahkan dengan pejabat yang memiliki komitmen tersebut. Pemberitaan yang menyudutkan kinerja dirjen pajak, fungsi pengawasan melekat dari Irjen pajak dan lain-lainnya, hanya bertujuan membongkar sekaligus mengusir para tikus-tikus yang selama ini bersarang didalamnya. Oleh karenanya, Sri Mulyani tidak perlu kecil hati pada situasi ini. Justru publik berharap jika Kemenkeu menjaga jarak dengan para tikus itu agar mudah diburu untuk selanjutnya di Fumigasi pada setiap ruangan di jajaran kementerian yang dibawahinya agar lebih sehat. Maka tetaplah semangat..!!!


Penulis : Andi Salim

0 تعليقات

إرسال تعليق
DMCA.com Protection Status Seedbacklink Banner BlogPartner Backlink.co.id Yusfi Wawan Sepriyadi is an Intellifluence Trusted Blogger