HARIANMERDEKA.ID-Kebenaran formil adalah kebenaran yang sesuai dengan status hukum. artinya, Kebenaran formil didasarkan pada formalitas-formalitas hukum sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
Berbeda dengan kebenaran materiil, Kebenaran materiil yang dimaknai sebagai kebenaran yang sebenar-benarnya, artinya kebenaran materiil merupakan kebenaran yang hakiki, yang secara riil mampu menampilkan pembuktian serta dapat meyakinkan siapapun dalam suatu proses pembuktian.
Maka, sekalipun suatu objek bukan atas nama dari penguasaan seseorang, namun didalam status pisiknya atau secara materil merupakan milik dari seseorang yang menguasai objek dimaksudkan tersebut. Sehingga dari kedua aspek ini penulis mencoba mengurai konteks kedudukan bernegara sesungguhnya.
Sesungguhnya negara tidak memiliki instrumen langsung untuk menggalang kekuatan rakyat. Oleh karenanya, diperlukan keberadaan partai politik yang diperuntukkan sebagai mekanisme dari proses sistem berdemokrasi yang disediakan negara untuk menggalang aspirasi rakyat yang secara konstitusi dibekali dengan legitimasi guna menyampaikan keinginannya terhadap apa dan bagaimana arah negara ini diharapkannya.
Oleh karenanya negara pun menjamin setiap warga negaranya untuk berbicara dalam konteks menyampaikan pendapat, sekaligus ikut menentukan nasib bangsanya sendiri, baik saat ini mau pun ke depan.
Maka, dari sarana berdemokrasi ini akan berimbas pada perbaikan kualitas hukum dan konstitusi yang diberlakukan. Maka, mekanisme inilah yang menjadi parameter kemajuan sebuah negara.
Tentu saja sportifitas keterwakilan atas kolektifitas suara rakyat itu harus dijalankan secara konsekuen. Artinya siapa pun yang mewakili masyarakatnya, harus menjalankan amanat sesuai dengan kehendak yang di inginkan oleh para konstituennya.
Instrumen partai sesungguhnya hanya bangunan struktural dari hirarki keanggotaan dalam komponen berorganisasi. Namun mekanisme struktural tersebut bukanlah segala-galanya yang mampu menyingkirkan harapan terhadap suara rakyat yang sering tidak selaras dengan kepentingan partai yang mewakilinya.
Terutama haluan kedisiplinan mengenai poros kekuasaan guna menciptakan dampak bargaining dari berbagai komponen kekuatan dalam elemen kekuasaan. Sehingga segala silang pendapat dan perdebatan apapun semestinya terjadi didalam mekanisme internal partai itu sendiri.
Faktanya, keberadaan partai-partai politik itu justru tidak sepenuhnya membahas kepentingan rakyat sebagai basis konstituennya. Apalagi membawanya kedalam forum parlemen guna memunculkan RUU baru agar merealisasikan setiap harapan rakyatnya tersebut.
Sebut saja RUU perampasan aset bagi para koruptor sebagaimana yang disampaikan oleh Mahfud MD kepada Bambang Pacul alias Bambang Wuryanto selaku ketua komisi III DPR-RI yang kita saksikan pada acara dengar pendapat antara Komisi III dengan Menkopolhukam hari Rabu, tanggal 29/3/2023 kemarin.
Hal itu dijawab olah Bambang, dimana menurut dia, RUU Perampasan Aset masih mungkin bisa disahkan. Namun demikian, hal itu tak bisa dengan serta merta membahasnya untuk kemudian mengetok palu begitu saja.
Sebab RUU Perampasan Aset baru bisa disahkan setelah persetujuan para ketua umum partai terlebih dahulu. Bahkan ditambahkannya, bahwa bukan hanya dirinya saja yang akan tunduk dengan ketua umum partai, melainkan juga semua anggota DPR tentunya.
Walau diketahui, pemerintah memang berinisiatif mengajukan usulan RUU tersebut agar bisa segera disahkan menjadi undang-undang, justru hal itu terganjal oleh persetujuan legislatif yang notabenenya dikendalikan secara penuh oleh para ketua umum partai masing-masing. Disinilah bottleneck mengapa proses pembentukan UU itu sering tersandera.
Keterkaitan para legislator ini berdampak pada rendahnya produktifitas pengesahan UU sebagai target utama atas kerja mereka di DPR-RI. Ini menandakan bahwa partai politik sangat menjadi faktor dominan untuk menentukan RUU mana yang menurut selera mereka bisa disahkan, sekalipun RUU tersebut bukan menjadi keinginan masyarakat pada akhirnya.
Jika demikian keadaannya, mengapa negara tidak memiliki instrumen untuk memaksa setiap partai politik agar tidak menghalang-halangi kehendak rakyat, dimana preseden mengenai kondisi ini sama halnya dengan konsekuensi bagi siapa pun yang merintangi terhadap proses penyidikan, penyelidikan atau pengungkapan suatu proses hukum sehingga mampu menjerat siapa saja yang melakukan hal tersebut tanpa kecuali.
Atau paling tidak, perlukan negara menambahkan aturan untuk melakukan seleksi bagi setiap calon yang diusulkan dari setiap partai politik, baik ditingkat pusat maupun daerah, sekiranya mereka ingin mencalonkan diri sebagai peserta pemilu guna menandatangani pakta integritas yang dipaksakan agar bersikap konsekuen pada kehendak rakyat sehingga bersedia melepaskan diri dari kepentingan partainya, yang selanjutnya mempersembahkan loyalitas dan integritasnya kepada bangsa dan negara.
Posisi partai politik semestinya hanya sebatas sarana menemukan sosok calon pejabat negara yang dipercaya sebagai mesin produktif guna mencetak kader-kader bangsa yang siap mengisi jabatan-jabatan pemerintah dengan landasan nasionalisme yang kokoh, akan tetapi mereka tidak perlu lagi terikat sikap loyalitas terhadap partai politik yang menjadi latar belakang keberadaannya.
Benarkah ungkapan Bambang pacul tersebut, lalu pada konteks apa para ketua umum partai tersebut yang begitu melindungi harta kekayaan para kadernya yang duduk di legilatif, sekalipun perolehan kekayaan mereka tersebut sekiranya berasal dari penjarahan keuangan negara yang berasal dari gratifikasi dan tindak pidana korupsi. Atau, tidakkah tujuan pendirian sebuah partai untuk melakukan estafet keberlangsungan kekuasaan negara yang diharapkan bersih melalui pola demokratisasi yang diperankannya sesuai dengan amanat UU yang berlaku.
Padahal, kepesertaan mereka sebenarnya telah melalui seleksi yang ketat oleh persetujuan KPU yang memberlakukannya dengan syarat-syarat formal tertentu bagi keikutsertaan mereka pada setiap ajang pemilu yang diselenggarakan.
Apalagi kita boleh saja menyangsikan sikap ketua umum partai yang seolah-olah lepas tangan ketika didapati dari oknum mereka yang tersangkut kasus korupsi, dimana setelah hal itu terungkap, maka dengan serta-merta para ketua umum partai yang bersangkutan langsung memberhentikan keanggotaan terhadap oknum yang bermasalah tersebut, hingga tidak perlu lagi dikaitkan dengan eksistensi partai yang menaungi kiprahnya selama ini, oleh karena khawatirnya hal itu akan berpengaruh pada buruknya konsekuensi terhadap hal itu yang disinyalir akan menurunkan elektabilitas partai atas sandungan kasus yang mendera oknum anggotanya.
Tidakkah ini cara-cara yang bisa dianggap sebagai pola cuci tangan dari minimnya pertanggungjawaban sebuah partai yang tidak mampu memastikan integritas dari setiap kader yang dimilikinya. Maka, masyarakat perlu mempertanyakan bahwa, Jika tidak ada Kilas balik mengenai responsibility tentang hal ini.
Mengapa KPU tidak membiarkan saja setiap ormas yang ada saat ini untuk menjadi bagian dari peserta pemilu, dimana KPU tidak perlu lagi menerapkan syarat-syarat formal dalam keikutsertaan setiap peserta sebagai dampak tidak adanya feedback balik atas pertanggung-jawaban terhadap setiap organisasi peserta pemilu nantinya.
Jika terbaginya pemisahan lembaga negara atas tiga bidang dari sistem trias politika yang begitu sukses menjauhkan campur tangan rakyat dari Keikut sertaannya pada kekuasaan, apalagi menambah pecahan lain atas lembaga eksaminatif yang semakin mengecilkan posisi rakyat dari sisi manapun terhadap kewenangan negara seutuhnya.
Sebab nyatanya, pembagian bidang-bidang kelembagaan negara semakin memperburuk keadaan negara itu sendiri. Hal itu terlihat dari setiap kewenangan dan kekuasaan negara yang terpisah antara satu dengan lainnya, termasuk lembaga-lembaga yang berdiri secara independen hingga membutuhkan lembaga lain diatasnya untuk mengawasi, mengatur, melakukan pengendalian internal secara langsung, hanya menghabiskan anggaran negara, dimana indeks persepsi korupsi di Indonesia pun tidak pernah mencapai pada rasio keberhasilan yang bisa dibanggakan.
Para legislatif, penegak hukum, eksekutif, bahkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sekalipun tidak luput dari hebohnya perbuatan oknum mereka yang bertindak korup atau banyaknya tersangkut kasus gratifikasi yang dilakukan demi menguntungkan diri sendiri atau keserakahan para kroninya. Inilah potret negeri antah berantah yang sangat mencengangkan itu.
Penulis : Andi Salim
0 Komentar