Ada Apa Dengan Kota Ini ? - HARIANMERDEKA

Ada Apa Dengan Kota Ini ?

 
Ilustrasi Suasana Tugu Kota Yogyakarta

HARIANMERDEKA.ID- Salah satu mitos paling bohong dan tipu sekali, saat media publik yang lalu dikutip secara ngawur oleh para siapa pun yang berkecimpung di dunia politik. Adalah sebutan "tahun politik", berkaitan dengan masa dua tahun menjelang hajatan pileg dan pilpres. Sebutan yang muncul, sejak era reformasi yang sesungguhnya ahistoris, tanpa jejak catatan sejarah yang runtut dan benar. 
 
Sejak era reformasi, bahkan jauh sebelumnya sejak era kemerdekaan diproklamirkan. Sepanjang tahun adalah tahun politik. Mencoba menyamai premis setiap hari adalah baik. Menyederhanakan politik, sebatas pileg dan pilpres sungguh menyesatkan. Resikonya adalah seolah di "dua tahun menjelang itu", orang boleh bersikap apa saja. Seenak sendiri, tanpa nalar (apalagi moral dan etik), dan yang terburuk adalah mereka semua bebas dari sangksi hukum. 
 
Tahun politik adalah tahun apa-apa boleh, yang haram dihalalkan, yang tidak patut justru dimuliakan, membolak-balik logika, menyebar hoaksa dan berita tidak benar. Semua atas nama bahwa politik itu dinamis.
 
Saya sesungguhnya sudah tidak terlalu peduli dengan politik praktis Indonesia era muthakir. Saya mencoba menyehatkan jiwa-raga saya dengan tidak terlalu concern dengan berita, fenomena, apalagi berbagai manuver politik. Di mata saya, politik di negeri ini akan teruaraikan dengan cara perpecahan. Semakin terurai semakin pecah. Dan inilah yang kita lihat belakangan ini. 
 
Kita melihat semakin jauhnya, anak-anak bangsa bisa duduk satu meja tanpa membawa2 isu politik dalam perbincangan. Bukan dalam bagian berdemokrasi, bukan dari mendewasakan kehidupan berbangsa-bangsa. Namun tak lebih membuat kita semakin saling mengalienasi, menyudutkan diri (pun liyan), dengan output kita akan semakin mudah kehilangan kejujuran dan ketulusan. 
 
Apa boleh buat zamannya memang telah menghendaki demikian.
Namun bagian yang sangat mengganggu saya, bahwa kota dimana saya tinggal di hari-hari ini tiba-tiba berubah menjadi kota yang memproduksi sedemikian banyak manusia-manusia yang pada akhirnya bertabiat buruk. Sangat buruk bagi saya. Mereka-mereka yang awalnya saya tulis dengan rasa hormat, namun belakangan justru menjadi jelaga yang tak terkira hitamnya. 
 
Mereka tentu saja, bukan sekedar dilahirkan di kota ini, tapi terutama justru dibesarkan. Dalam arti menuntut ilmu, membangun reputasi, dibekali dengan berbagai aturan baku tentang sopan santun, tanggung jawab, dan tentu saja rasa hormat. Tak perlulah terlalu jauh berbicara tentang bagaimana cara terbaik berterimakasih, tapi yang terutama jangan membuat repot dan mau pada sesama warga. Mereka serasa semakin menjauh dari itu. 
 
Sialnya itu lah yang terjadi nyaris sebulan terakhir, yang bila ditarik-tarik lagi ke belakang menguat sejak 2014. Sejak Jokowi secara resmi menjadi presiden.
Jogja seolah menjadi "kota oposisi". Karena barisan penyerang, pembenci, dan pengkhianat Jokowi seolah-olah bermata air dari kota ini. Mereka-mereka yang pada dasarnya memiliki watak sama: tidak siap kalah, tidak siap tersingkir, dan tidak siap mengakui. Bahwa dalam kenyataannya Jokowi bisa berbuat lebih banyak (secara kuantitas) dan lebih baik (secara kualitas). 
 
Dan itu membuat sederet figur publik ini sedemikian meradang, merana, dan sakit. Sakit yang menurut saya, nyaris tak tersembuhkan. Sakit yang menurut saya akan dibawa mati, atau malah membuka jalan bagi kematian mereka sendiri. Bukan sekedar mati secara jasmaniah, tapi terutama yang menyedihkan adalah secara karir, reputasi, integritas dan kredibiltas. Tana itu semua, pa arti menjadi "manusia sejati".
 
Lalu siapa saja yang "haters connected" tersebut?
Tentu saja yang paling pantas disebut pertama adalah Amien Rais. Dia sebenarnya sudah "lama jatuh", dijatuhkan oleh ambisinya sendiri yang over-calculated. Dia harus dicatat penting, bukan karena klaim sepihaknya sebagai "pahlawan reformasi". Tapi dia pulalah figur yang menjadikan politik dan agama sebagai alat. Ia merancang sebuah sindikasi menjatuhkan Megawati dan menaikkan Gus Dur sebagai presiden alternatif. Yang kemudian dijatuhkannya pula. 
 
Bentuk pengkhianatan seperti ini akan dicatat dalam sejarah negeri ini. Kenapa sebuah manuver kebablasan biasanya akan dibayar secara keterlaluan pula. AR kemudian kehilangan partai yang didirikannya, bergabung dengan kelompok oposan yang tak pernah mendapat respon positif, kehidupan anak-anaknya berantakan karena memaksakan diri masuk dunia politik hanya sekedar memanfaatkan nama besar bapaknya. 
 
Kebenciannya kepada Jokowi seolah "pintu segala dosa" yang menutup segala potensi baiknya. Ia lenyap dari panggung utama dan berakhir sebagai gelandangan politik. 
 
Kedua, tentu saja saya harus sebut Emha Ainun Nadjib. ia adalah profiling "manusia yang tak pernah tuntas". Mondok di Gontor cuma berakhir kabur, diberi kesempatan kuliah di UGM hanya tiga bulan. Pendidikan jalanan, nyantrik kesana kemari dan keberanian berimprovisasi adalah kunci keberhasilannya kelak. Ia lalu menjelma menjadi apa saja. Namun masa pendek di titik belok era reformasi, menjadikannya terisingkir dalam pergaulan dunia kebudayaan yang menjadi rumah alamiahnya. 
 
Ia gagal masuk dalam lingkaran politik, justru karena sikap ambigunya. Bersikeras menurunkan Suharto namun sekaligus memberi peluang baginya untuk bangkit lagi dalam bentuk lain. Kehilangan kepercayaan dari teman-teman di lingkaran terdekatnya-lah yang membuat dalam kurun panjang, memilih membesarkan jemaah pengajiannya. Sesuatu yang kemudian menjebaknya dalam "dunia berhala" yang lain. 
 
Riwayat kebenciannya terhadap Jokowi sudah berjejak panjang. Ia adalah inisiator "pencari bukti" Jokowi adalah PKI. Ia mengerahkan jamaahnya turun lapangan ke pelosok Solo dan Boyolali mencari bukti yang tak pernah ada itu. Alih-alih meluruskannya, ia justru menguatkan sebagai berita bohong dan menjadikan "hoaks" sebagai fenomena. Terakhir ia membuat suatu "lelucon garing" bahwa Jokowi adalah Firaun. 
 
Lalu apa anehnya, bukankah itu menunjukkan sakitnya makin parah. Jadi lumrah saja jika, ia justru meminta maaf pada keluarga dan jemaahnya. Menunjukkan ia lebih takut kehilangan pada apa dan siapa? Tinimbang harga diri dan kehormatannya. 
 
Ketiga, ini profiling jenis pengkhianat. Ia seorang yang diciptakan untuk selalu merusak jalan baik yang ia warisi maupun ia bangun sendiri. Ia yang mudah mengaburkan identitas personalnya. Walau kelahiran Jogja, kota yang awalnya tak pernah mempersoalan "ciri kearaban"-nya. Namun belakangan ia mengaku menjadi siapa saja: di Kuningan ia mengaku orang Sunda, di tempat lain lagi ia mengaku bahwa ia bla bla bla. Ia adalah manusia dengan karakter bunglon.
Akibat watak dasarnya ini, ia sulit dipercaya sepenuh2nya. Sebetapa pun cerdas memposisikan dirinya dan pandai menata kata yang khas "orang Jogja". Ia sangat paham bahwa pada saat ini, ada kelompok yang selalu membutuhkan dirinya, justru karena fleksibilitas dan keterbukannya. Ia merasa independen, dan pandai membuat orang lain "depend on him". 
 
Ia dalam istilah Jogja disebut "wong lunyu". Manusia licin, selicin belut dan batu hitam. Ia tak mudah dipegang, sekaligus orang harus berhitung terhadapnya. Menjelaskan walaupun ia mendaku sebagai antitesis Jokowi, walau bukti korupsinya sudah segerobag. KPK tak kunjung berani menangkapnya. Tentu saja karena perhitungan politik mencegahnya. Lebih murah membiarkannya bebas, daripada menanggung ongkos politik bila mengkerakapnya.
 
Dan terakhir, ia adalah seorang ibu. Seorang yang pada masa kelahirannya, diselamatkan dan disembunyikan di sebuah gereja Katolik di Bintaran. Ia adalah "pencilan" dalam keluarga Sukarno. Tak pernah diharapkan untuk menjadi yang "terbesar", tapi nyatanya ia bisa. Ia tak pernah akur dengan saudara2 sekandung (catat: seibu). Karakternya yang "tak pernah lulus dan tulus", mejadikannya kurang ideologis, kurang Sukarnois, dan yang jelas kurang ramah bagi banyak hal.
Tak hanya pada satu masa ia adalah simbol perlawanan, ia selalu melawan dengan "jurus diam yang aneh". Tapi jangan tanya, bila ia sudah berpidato di lingkaran dalam-nya. Ia selalu sinis kepada Jokowi, sikap merendahkannya generik dan tidak dibuat2. Sikap yang sialnya justru membuat partainya sesaat tampak kokoh. Ia adalah figur yang selalu "butuh musuh". Sikap kritis yang terasa kaprah, mengingat ia tak pernah benar2 berkuasa. 
 
Profilingnya adalah merasa "pewaris darah biru pendiri bangsa". Sesuatu yang kelak akan dikenang sebagai penyebab partainya tak akan pernah lebih besar dari hari ini. Seorang ibu yang makin kelelahan menanggung beban sebagai seorang Ibu.
 
Hanya empat, tapi mungkin bisa lebih banyak. Empat orang yang secara terbuka atau secara latent merekalah para "pembenci sekaligus penghardik"Jokowi. Mereka tanpa sadar, justru adalah pencuci bersih kesalahan, kekurangan, dan kengawuran Jokowi. Hanya karena pilihan buruk cara mereka bersikap sebagai oposan. Mereka ini adalah "anak-anak yang terjebak dalam tubuh tua mereka".
 
Kesedihan mendalam pribadi saya, dalam diri mereka, suka tidak suka nama Jogja terseret-seret di dalamnya. Mereka Jogja, tapi sekaligus bukan Jogja. Kadang saya berpikir beginilah cara kota ini memperbaiki dirinya. Tertatih-tatih menyeimbangkan dirinya dalam gegap gempita "mempercantik diri" dengan menghayati wajah aslinya. Mencari ruang kosong, sekaligus menumpuk banyak hal pada satu titiknya. 
 
Jogja adalah perubahan yang selamanya setengah hati. Tak usah heran jika, sebagian manusia yang berasal dari padanya juga sekedar "setengah manusia".
.
NB: Jogja selalu disebut sebagai kawah candradimuka Indonesia. Itu dulu, tak tahu sampai kapan. Banyak yang tidak tahu kawah ini berada di Jonggring Suralaya, dimana Sang Mahaguru Batara Guru tinggal. Dalam cerita pewayangan yang populer, disebutkan bahwa yang dibesarkan disini adalah Gatotkaca. Padahal berbarengan dengannya juga "digodog", keponakannya yang bernama Wisanggeni.
Gatotkaca dikenal sebagai ksatria yang mau turun glanggang secara langsung, bahkan sudi mengorbankan jiwa raganya. Sebaliknya Wisanggeni, selamanya tak pernah ikut berperang. Ia tidak tinggal di dunia, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan basa krama. Ia keras, tak pandang bulu, dan cenderung menyakitkan lawan bicaranya. 
 
Dalam dunia pewayangan, Wisanggeni dan (juga) Antasena dilarang ikut dalam perang Baratayuda. Justru karena kesaktian, bila ia terlibat Pandawa akan kalah. Wisanggeni tak pernah menang dalam perang apa pun, kecuali dalam adu kata2. Kenapa dalam kultur Jawa, terdapat peribahasa "asu gede menang kerahe". Kerah itu berselisih tapi sebatas kata2. Mereka tak pernah benar2 bertarung fisik. Karena kalau iya pasti akan kalah dan memalukan. 
 
Demikianlah, memahami Jogja. Ia juga memiliki sisi Wisanggeni yang menyebalkan. Ia yang mewakili karakter "asu gede" yang hanya bisa menang kalau kerah. Kota ini juga melahirkan banyak "karakter asu", yang hanya pandai menggonggong. Dan tak pernah benar2 ikut dalam gelanggang pertarungan.
Mereka2 yang membuat kota ini justru bisa banyak belajar, berinteraksi, dan bersinergi. Memadukan dua dunia yang berbeda: jagad gede panggung yang gegap gempita nan menggoda dengan jagad cilik yang tenang, damai, dan membuai. Dua dunia yang selama nya tak akan pernah bersatu, namun suka tidak suka akan tetap hidup berdampingan. Menyedihkan bila (harus) memahaminya, namun menyenangkan (bisa) mengingatkannya

0 Komentar

Posting Komentar
DMCA.com Protection Status Seedbacklink Banner BlogPartner Backlink.co.id Yusfi Wawan Sepriyadi is an Intellifluence Trusted Blogger