![]() |
HARIANMERDEKA.ID,- Setiap pemilu tiba, kita dipaksa untuk tak merasakan pilu. Kita diajak untuk tersenyum, bergembira, serta bersorak ria. Karena di pemilu kita diajak untuk berpesta. Kata berpesta sendiri identik dengan perayaan. Megah, meriah dan tak berbiaya murah. Sebab itulah hajatan demokrasi akbar tiap lima tahun sekali itu mengeluarkan dana yang fantastis dan tak sedikit. Pada pemilu itu pula roda ekonomi seperti berputar cepat. Ada penjual kaos kampanye, tukang sablon, para pekerja iklan, pekerja running text, sampai dengan tukang bengkel motor yang sibuk memodifikasi motor jadi layak geber. Tuan dan puan bisa menghitung sendiri berapa jumlah bensin yang dihabiskan sekali kampanye. Belum lagi duit upah yang harus dibayarkan pada peserta kampanye saat calon atau tokoh yang akan maju menjadi wakil rakyat berpidato.
Pemilu memang sekilas tak boleh menyisakan pilu. Orang boleh bergembira, tapi tak boleh susah saat pemilu. Tinta ungu bekas kita nyoblos jadi saksi sidik jari bahwa kita sudah ikut menyuarakan hati. Meski kita tahu, kita terlampau sering patah hati saat calon kita ingkar janji. Yudistira ANM Masardi di buku Luka Cinta Jakarta (2017) menuliskan bagaimana potret pemilu di negeri ini. “Ya Sayangku/ pemilu jadi ajang tikam-terjang—“pokoke menang!”/ retorika mereka manis-ular juga vulgar/tanpa nalar/ memang begitulah cara mereka berkata-kata/hitam jadi putih/ putih jadi legam/ pagi tempe sore kedelai.”
Tak jauh beda dengan Yudis yang memotret pemilu sebagai ajang bersilat lidah serta obral janji politisi, mari menyimak puisi Widji Thukul yang membincang soal pemilu. “Kami tak percaya lagi pada itu, partai politik/ omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang/ mengawang jauh dari kami punya persoalan/ bubarkan saja itu komidi gombal/ kami ingin tidur pulas/ utang lunas/ betul-betul merdeka. Tidak tertekan…. Tegasnya = Aku menuntut perubahan (Aku Menuntut Perubahan).
Pesta kata-Kata
Pada pemilu kita diajak untuk memasuki rimba kata-kata. Dalam politik, kata-kata adalah senjata. Ia adalah sihir. Kalimat-kalimat klise serta jargon yang mulus terus dihadirkan di setiap pemilu. Saat menjelang pemilu, kita jadi senang berpesta kata. Di radio, di jalan raya, di televisi bahkan di kuburan sekalipun kita dipaksa untuk melihat para politisi dan calon wakil rakyat kita bertumpah ruah kata dan doa.
Pemilu jadi terkesan diciptakan untuk melanggar aturan. Konon di aturan kampanye tertera kita dilarang untuk kampanye di tempat ibadah, pemerintahan maupun instansi pendidikan. Akan tetapi selama ini, di kelompok kerja guru misalnya, kita dipaksa untuk menyepakati kata-kata yang mendukung salah satu paslon. Belum lagi di tempat ibadah. Bila dulu saat ribut-ribut Ahok kita diajak untuk melawan kampanye di tempat ibadah, kini masjid-masjid pun terpaksa harus diisi dengan khotbah ala kampanye. Terlebih saat kita melihat kantor pemerintahan. Bagaimana mungkin tidak dikatakan kampanye, bila bupati sendiri menggerakkan para institusi dan pegawai di bawahnya untuk mendukung salah satu paslon menggunakan fasilitas pemerintah.
Fenomena diatas adalah bagian dari rutinitas yang terpaksa kita lihat dan saksikan saat menjelang pemilu. Pemilu akhirnya menjauhkan diri dari visi mencari pemimpin yang ideal. Semua hanya berpacu dan berlomba untuk saling menang. Bukan untuk memenangkan hati rakyat, tapi memenangkan kepentingan koalisi.
Menurut F. Budi Hardiman dalam bukunya Dalam Moncong Oligarki (2013) ada tiga masalah pokok dalam demokrasi. Pertama, demokrasi kita yang semula menghasilkan solidaritas justru di Indonesia membiarkan ekspansi pasar yang merusak solidaritas. Kedua, demokrasi yang seharusnya melindungi pluralitas justru di Indonesia membiarkan kekuatan-kekuatan religio-politis yang mengancam pluralitas. Ketiga, demokrasi yang seharusnya menghasilkan kesetaraan kondisi-kondisi, justru di Indonesia membuahkan kondisi-kondisi ketidaksetaraan.
Inilah potret yang terjadi di alam demokrasi kita. Pasar yang lebih berkuasa ketimbang akal dan nurani. Di samping itu, kekuatan minoritas serta kepentingannya justru menjadi terancam tak difasilitasi dan dilindungi oleh mayoritas. Selain itu, demokrasi kita justru menghasilkan semakin timpangnya jarak antara kaya dan miskin.
Mencari Negarawan
Bila pemilu tak bisa menyelesaikan problem demokrasi, tentu saja pemilu hanya menghasilkan tangis dan pilu. Saya jadi ingat cerita pendek yang ditulis Ahmad Tohari yang berjudul Syukuran Sutabawor yang ada di kumcernya Senyum Karyamin (2019). Di cerpen tersebut ada sosok priayi zaman akhir yang oleh pohon jengkol saja tak disukai. Ia memiliki karakter “bersikap ningrat, maunya dilayani. Mereka menjunjung atasan dan tak mau mengerti tangise wong cilik. Dan mereka angkuh tentu saja. Mereka jarang menyadari bahwa gaji yang mereka terima berasal dari wong cilik, setidaknya berasal dari harta bersama seluruh rakyat.”
Saya takut bila pemilu menjadi jalan lahirnya priayi zaman akhir yang tak mengenal dan memahami atine wong cilik, serta menjadi semena-mena terhadap wong cilik saat menjabat dan berkuasa. Kita tidak berharap pemilu hanya memilih pemimpin yang hanya menuruti maunya oligarki dan konglomerat semata. Kita ingin pemilu yang menghasilkan negarawan. Jangan sampai pemilu seperti puisi yang ditulis Widji Thukul yang bertajuk Hari Itu Aku Akan Bersiul-Siul : Pada hari coblosan nanti/ aku akan masuk ke dapur/ akan ku jumlah gelas dan sendokku/ apakah jumlahnya bertambah/ setelah pemilu bubar?/ pemilu ooo pilu, pilu…../bila tiba harinya/hari coblosan/ aku tak akan ikut berbodong-bondong/ke tempat pemungutan suara/ aku tidak akan datang.”
Oleh; Fajar Dino Prawika
0 Komentar