Kampanye Bansos, Gibran dan Kesenjangan Ekonomi Kita - HARIANMERDEKA

Kampanye Bansos, Gibran dan Kesenjangan Ekonomi Kita







HARIANMERDEKA.ID-Dalam sesi deklarasi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presidem (Cawapres) Prabowo-Gibran di depan pimpinan partai koalisi pendukungnya sebelum pendaftaran ke KPU lalu, Gibran bak sales marketing produk, dia  pamerkan beberapa program  unggulan Pemerintah yang yang sudah berjalan berupa bantuan sosial ( bansos) dan berupa program kredit bunga murah semacam Kredit Usaha Rakyat ( KUR) dan  tambahan kartu kartu bansos baru. Pesannya, rakyat banyak yang miskin di republik ini akan tetap berada dalam program santunan. 


Rakyat akan kembali dicekoki model program ekonomi neo-klasik, model ekonomi neo-kapitalis, neo-liberalis dengan skema biarkan elite kaya dengan korporasinya rampas ekonomi rakyat seperti yang terjadi selama hampir dua periode kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) ayahnya. Lalu mereka, rakyat banyak, yang jadi korban kemiskinan struktural akibat kebijakan ekonomi neo-liberal dan jadi residu dari kejahatan korporasi kapitalis dimana mana selama ini akan direduksi dengan cara disantuni, disedekahi dengan program bansos tersebut. 


Intinya, program Gibran akan teruskan program ayahnya. Model kebijakan ekonomi lama yang sebabkan kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi yang diterapkan pemerintah hari ini akan terus dilanjutkan. Kemiskinan struktural ini akan dilanjutkan. Ibarat sakit lama akan ditawarkan dengan obat lama. Sehingga rakyat harus siap dengan sakit lama yang semakin akut, memburuk karena tidak akan ada pembaharuan. 


Kemiskinan Struktural 


Di tengah hiruk pikuk pembangunan di era Jokowi yang banyak dielu elukan selama ini, ternyata data kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam sepuluh tahun terakhirnya cukup mengenaskan. Jumlah orang miskin dan orang kayanya tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan di kelompok super kaya selama sepuluh tahun jumlahnya tetap sama. 


Elite kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin saja. Rakyat kecil di bawah disuruh bersaing berdarah darah antar tetangganya mengais rejeki, sementara elite penguasa dan elite kaya di atas membangun kongkalikong dan kekuasaan dinasti. 


Menurut World Data Book - Suisse Credit Institute dengan data terakhir tahun 2021, ternyata struktur kepemilikan kekayaan orang dewasa di Indonesia dalam posisi stagnan. Bahkan dibandingkan dengan rata rata duniapun, kondisinya sangat tertinggal jauh. Orang kayanya makin kaya dan sangat sedikit sementara orang miskinnya makin miskin dan sangat banyak serta membentuk pola struktur piramida yang sangat runcing ke atas. 


Jumlah penduduk dewasa Indonesia tahun 2021 adalah sebanyak 183,7 juta atau 67,38 persen dari penduduk. Rata rata kekayaan orang dewasa Indonesia pada tahun 2021 sebesar US $ 15.535  atau 222,3 juta rupiah.  Sementara rata rata dunia adalah sebesar US $  87.489 atau 1,257 milyard rupiah (dihitung dengan kurs tengah tahun 2021 sebesar 14.311 per  US $ 1). Angkanya  hanya 17,6 persen dari rata rata dunia. 


Dilihat dari angka mediannya adalah  sebesar US $  3.457 atau 49,4 juta rupiah per orang. Sementara rata rata dunia adalah sebesar US $ 8.360 atau 119,6 juta rupiah per orang. Angkanya tetap hanya 41,3 persen dari rata rata dunia. 


Tahun 2021, Rata rata kelompok bawah (miskin) dengan kekayaan di bawah US $ 10.000 atau di bawah 143,1 juta rupiah adalah sebanyak 75,1 persen. Rata rata dunia hanya 53,2 persen. 


Mereka yang di kelompok menengah atau memiliki kekayaan di atas US $  10.000 - 100.000 atau di rentang 143,1 juta - 1,43 milyard adalah di angka 22,9 persen. Sementara rata rata dunia sebesar 33,8 persen. 


Angka yang cukup fantastis adalah di kelompok kaya atau mereka yang memiliki kekayaan di atas US $ 100.000 - US $ 1 juta atau 1,43 milyard - 14,3 milyard. Di Indonesia angkanya hanya 1,9 persen, sementara rata rata dunia adalah sebesar 11,8 persen atau kita hanya 16,1 persen dari rata rata dunia. 


Sementara di kelompok super kaya atau mereka yang kekayaanya di atas 14,3 milyard ke atas hanya 0,1 persen. Sementara rata rata dunia sebesar 1,2 persen. Atau hanya 8,3 persen dari rata rata dunia. 


Dilihat dari jumlah orang dewasa Indonesia di kelompok bawah (miskin) rata rata selama sepuluh tahun adalah 82,96 persen. Sementara itu rata rata dunia 66,2 persen. Angkanya tetap di bawah rata rata dunia. 


Sementara dari kelompok kaya dan super kayanya Indonesia selama sepuluh tahun terakhir rata rata hanya sebesar 1,3 persen dan rata rata dunia adalah sebesar 9,4 persen. Bahkan di kelompok super kaya jumlah mereka stagnan atau tidak berubah sama sekali di angka hanya 0,1 persen. 


Dilihat dari angka angka tersebut maka kelompok miskin itu dapat dikatakan tidak mengalami kenaikan kelas. Demikian juga di kelompok menengah ke kaya dan juga dari kaya ke super kaya. Ini juga diperkuat oleh data dari Oxfam ( 2022) yang melaporkan dari 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin, kekayaanya sama dengan kekayaan 4 anggota keluarga super kaya di Indonesia


Kemiskinan struktural itu terjadi karena rakyat miskin tidak memiliki peluang untuk mengkreasi kekayaan. Sehingga mereka pada akhirnya hanya mewariskan kemiskinan baru. Menurut lembaga riset Smeru (2019), dari 87 persen keluarga miskin telah melanggengkan kemiskinan baru. 


Struktur yang timpang ini jelas menandakan ada yang salah dalam sistem perekonomian kita. Harus ada perombakan sistem secara kongkrit dan tidak cukup hanya dilakukan dengan kebijakan programatik biasa seperti yang dilakukan selama ini. Sebut saja misalnya bantuan sosial ( bansos), subsidi, pengupayaan akses kredit, dan lain sebagainya. Hal ini justru menjadi pelanggeng dari kemiskinan iti sendiri. 


Rupanya Gibran tidak paham, kebijakan ekonomi yang membuat ayahnya berkuasa di pemerintahan selama dua periode itu ditopang oleh pencitraan yang rapuh dan akan semakin menyulitkan generasi selanjutnya. Dia kelihatanya tidak paham jika ekonomi liberal dan ditopang utang yang membengkak besar besaran untuk biayai proyek bombastis infrastruktur dan bansos itu telah wariskan utang hingga hampir 10.000 trilyun di masa akhir pemerintahanya nanti dan tentu akan jadi beban fiskal pembangunan. 


Dia rupanya tidak juga paham bahwa kampanye bantuan bantuan sosialnya itu akan menyebabkan ekonomi kita gagal bayar dan membuat negara bisa terpuruk seperti kasus yang terjadi di Srilanka. 


Kondisi ketimpangan yang bersifat asimetris dan jangka panjang itu juga menandakan bahwa sebab sebab kemiskinan yang ada itu sifatnya struktural. Sehingga harus dilakukan perombakan sistem secara fundamental, tak cukup hanya dengan program- program karitatif dan tambal sulam semacam kartu kartu bansos dan subsidi bunga untuk akses kredit. 


Jakarta, 27 Oktober 2023


Suroto

0 Komentar

Posting Komentar
DMCA.com Protection Status Seedbacklink Banner BlogPartner Backlink.co.id Yusfi Wawan Sepriyadi is an Intellifluence Trusted Blogger