Filosofi Kelan Kelon - HARIANMERDEKA

Filosofi Kelan Kelon











HARIAN MERDEKA.ID |Dua hal paling penting bagi orang Jawa tradisional itu hanya: kelan dan kelon. Kelan itu makna sebenarnya sayur, tapi harafiahnya makan. Seorang suami, begitu pulang ke rumah biasanya akan menyapa istrinya: "Kelan apa bune?". Di sini saya harus menggaris bawahi, perbedaan kata bue dan bune. Kata bue itu panggilan seorang anak kepada ibunya, sedangkan bune itu seorang suami pada istrinya. Kalau Anda menggunakan secara kebalik, bukan saja tidak paham kultur Jawa. Mungkin Anda termasuk yang "wis ilang jawane". Kenapa yang selalu ditanyakan "kelan", disinilah makna uniknya. Nasi dan lauk pauk itu dianggap mudah diterka. Tapi sayur itu memiliki sisi sensasi, tebak2an yang menarik. Makanya akan muncul kata2: nah (bila senang), waduh (bila kecewa), weh (bila kaget). Bila disebut lodeh, maka si suami akan bertanya ada perkara apa? Maklum lodeh bermakna "buang sial". Atau bila sayur asem si suami akan bertanya lagi padu (ribut) karo sapa? Dan bila sayur bobor, pertanyaannya ialah siapa yang barus saja melahirkan. Demikianlah kemesraan sederhana antara suami dan istri. Sayang dalam pembicaraan muthakir, sering konteks "sayur" ini dikonotasikan sangat buruk. Bila seorang pria "jajan" di luar, ia berapologi bosen dengan sayur di rumah! Ini bukan karakter Jawa tradisional, yang umumnya pendapatannya hanya pas2an untuk hidup. Mungkin itu gambaran gaya hidup priyayi hedonis yang bahkan "mungkin" istrinya jangankan bisa masak enak, masuk ke dapur saja tidak pernah!



Hal kedua adalah kelon, yang arti sederhananya tidur. Tapi kelon bisa lebih pada pengertian tidur berdua dengan istri atau anak, atau bahkan bertiga, berempat kruntelan dengan anak2. Tata ruang rumah tradisional Jawa bergaya "kampung" dulunya sangat terbuka. Tidak ada sekat2, atau pembagian ruang. Dapur dianggap jauh lebih penting, karena biasanya sangat besar. Saya ingat ketika saya kecil dulu, kalau kami berkunjung ke rumah eyang: tempat tidurnya, tempat makannya, dan tempat menjamu tamu ya sama saja. Ngampar di lantai. Lalu pertanyaannya dimana mereka akan "kelon", berhubungan badan dengan istrinya. Tempat tidur hanya secukupnya saja, bahkan hanya sebuah sekat yang temporer, tak berpintu hanya berkorden kain. Dimana di dalamnya ada amben dari mambu. Golongan priyayi sering menyebutnya senthong, tapi orang Jawa kelas bawah hanya menyederhanakannya sebagai "njero amben". Artinya tempat tidur dalam kamar, di atasnya beralaskan tikar pandan. Ini "tempat tidur" bersama yang multfungsi. Artinya kalau ada yang sakit, biasanya akan mendapat prioritas tidur di sini. Lalu kalau kebelet kelon bagaimana? Di sinilah asketisnya orang Jawa jaman dulu. Bila ada yang sakit ya kelonnya prei. Libur! Makanya aneh sekali, ketika terjadi gempa di Jogja dulu. Ketika rumah mereka luluh lantak, dan tidur bersama di tenda. Tuntutan masyarakat justru sangat norak, minta dibuatkan "bilik mesra untuk suami istri". Dan peminatnya banyak, kok bisa.?? Menunjukkan bukan saja, masyarakat zaman sekarang makin jauh dari rasa malu, juga sama sekali tak mempelajari filosofi klasik cara bercinta orang Jawa yang disebut "Asmaragama". Ya sulit kalau dipelajari di zaman kini: kitab ini mensyaratkan apa yang disebut juga sengseming salulut, puncak dari karonsih adalah salulut. Dimana hukum dasarnya adalah pasangan suami istri yang sah, sehat dan saling menerima. Jadi ya ribet kalau di zaman now, dimana pemeo utamanya berubah jadi "selingkuh itu indah". 


Permasalahannya jadi ajur mumur, turun derajat ketika dua kata ini disandingkan jadi kelan-kelon. Karena maknanya jadi multi-tafsir! Paling baik adalah apa yang hari ini disebut "bulan madu". Yah mau apalagi yang harus dilakonkan pada masa pasca perkawinan, kalau tidak "mengurung diri berdua" di tempat tidur. Lucunya dalam tradisi masyarakat Samin, hal ini justru dilakukan sebelum seorang laki2-perempuan dinikahkan secara resmi oleh si ayah perempuan. Karena itulah, baru beberapa tahun terakhir orang Samin bisa memperoleh KTP dan KK. Di luar perkawinan mereka secara adat tidak tercatat oleh negara, juga umumnya mereka tidak mau agama mereka dituliskan sebagai Islam, atau Kristen misalnya. Mereka keukeuh agama mereka adalah Agama Adam! Biasanya selama tiga bulan si calon mempelai pria diberbolehkan tinggal dan meniduri si anak gadis. Mereka menyebutnya dengan istilah "nyantrik". Keduanya di samping diajari bekerja di sawah, juga diperbolehkan kelan-kelon. Tiga bulan itu juga masa persiapan acara pernikahan yang umumnya dilakukan secara gotong royong, mengundang kerabat dan tetangga dekat. Saya beruntung bisa mengabadikan "pernikahan paling mewah" di rumah tokoh Sedulur Sikep bernama Pramugi Prawiro Wijoyo di daerah Sambong. Enak dong! Bagaimana kalau setelah itu gak jadi dikawinkan? Emangnya elu! Orang Samin (menurut saya) adalah prototype orang Jawa yang paling murni, mereka tulus, jujur, dan berintegritas. Mereka tidak suka ngutang, rajin ke sawah, tidak suka berdagang (apalagi jadi pegawai), taat bayar pajak, dan memiliki kemandirian paling luar biasa. Beruntung saya pernah tinggal mondok beberapa lama di keluarga Samin yang paling tradisional di Kradenan, Blora. Seminggu yang merubah saya menjadi seorang asketis Jawa...

 


Filosofi kelan-kelon sekali lagi adalah prototype orang Jawa paling sederhana. Bagi mereka bisa makan itu sudah menjadi kelegaan tersendiri, itu akan bertambah membanggakan bila kita bisa menawari orang lain makan. "Wis mangan?". Adalah sapaan paling sederhana, setelah "piye kabare?". Orang Samin akan sangat tersinggung, bila mereka menawari makan kita, lalu kita jawab dengan sok normatif: jangan repot2. Jangan harap Anda akan disapa dan dijamu lagi setelah itu. Mereka akan sangat suka bila kita sambut dengan: wah kebetulan saya lapar sekali. Mereka akan langsung menganggap kita sebagai keluarga. Kelan adalah wilayah paling publik. Sebaliknya kelon adalah wilayah privat, yang sebagaimana saya ceritakan, "dulu" tak mungkin dilakukan setiap saat. Di luar "gantian kamar", juga menuntut kesiapan fisik lahir dan batin. Sayang saat ini kelan-kelon itu malah jadi ejekan antar teman untuk menyebut seorang sebagai pemalas. Malas bekerja, malas kuliah, malas bergaul. Pacaran melulu.

Hingga sering terdengar: Gawean kok mung kelan-kelon! Nyebahi....
Loading...
<!-- Composit

0 Komentar

Posting Komentar
DMCA.com Protection Status Seedbacklink Banner BlogPartner Backlink.co.id Yusfi Wawan Sepriyadi is an Intellifluence Trusted Blogger