Karangsambung Dan Jalur Subduksi Kapur

Awang Harun  Satyana Dkk
HARIAN MERDEKA.ID|Karangsambung di utara Kebumen, Jawa Tengah adalah suatu tempat di Pulau Jawa yang secara geologi menyingkapkan kompleks batuan asal samudra, benua, dan palung kontak antara benua dan samudra. Kompleks ini disebut juga Luk Ulo, mengikuti nama sungai yang menoreh area Karangsambung. Di sinilah batuan tertua di Pulau Jawa tersingkap, 120-80 juta tahun umurnya.

Seolah-olah di tempat ini bersambungan antara kerak benua dan samudra. "Bijak orang-orang dahulu menamakan tempat ini Karangsambung, jangan-jangan mereka tahu bahwa di tempat ini bersambungan benua dan samudra," ujar Dr. Carolus Prasetyadi, dosen geologi UPN Yogyakarta yang pada tahun 2007 melakukan penelitian S3-nya di bagian utara Karangsambung.

Awal Mei yang lalu Pak Prasetyadi dan saya menemani para geosaintis dan engineer Pertamina ke Karangsambung. Karangsambung bukan tempat yang asing bagi para geolog Indonesia. Dari mereka masih mahasiswa sebagian besar pernah ke sini untuk belajar geologi di lapangan.

Keunikan, kerumitan, dan keberagaman geologinya yang membuat Karangsambung banyak dikunjungi. Unik karena ia merupakan tempat yang langka menyingkapkan kompleks subduksi lempeng samudra, sekaligus rumit, dan beragam batuan-batuannya yang asal samudra, asal benua, asal palung subduksi sendiri. Subduksi adalah tempat lempeng litosfer samudra menekuk, menunjam, ke bawah lempeng benua membentuk palung laut dalam. Karangsambung menyingkapkan fenomena tektonik lempeng (plate tectonics).

Tektonik adalah suatu ilmu dalam geologi yang membahas dinamika litosfer dalam membentuk pegunungan, benua, samudra, palung-palung samudra, patahan-patahan besar, dsb. Litosfer adalah kulit terluar planet Bumi. Litosfer terpecah-pecah menjadi lempeng-lempeng (plates) besar dan kecil dan bergerak satu sama lain saling bertabrakan meluaskan benua membentuk pegunungan di tepi-tepi yang bertabrakan, atau membentuk palung samudra yang dalam bila lempeng samudra tabrakan dengan lempeng lain, atau lempeng-lempeng bergerak saling menjauh membuka retakan di benua sampai membentuk samudra baru, atau mereka saling berpapasan membentuk zona gesekan berupa patahan besar. Semua hal itu disebut tektonik lempeng (plate tectonics). Fenomena tektonik lempeng mengatur banyak fenomena geologi lainnya seperti: sebaran gunungapi, jalur kegempaan, penyingkapan batuan samudra dan benua, jalur mineralisasi untuk lokasi bahan tambang, cekungan-cekungan sedimen untuk lokasi minyak, gas, batubara, dan masih banyak fenomena lainnya.

Karangsambung adalah tempat subduksi/ penunjaman lempeng samudra pada masa silam yaitu Kapur (150-66 juta tahun yl). Jadi pada waktu itu area di utara Kebumen ini merupakan palung samudra yang dalam (6-7 km dalam lautnya) tempat lempeng samudra menekuk di bawah lempeng benua. Dalam peristiwa itu, lempeng samudra menunjam, subduksi, ke bawah lempeng benua, ia maju bergerak masuk ke dalam mantel Bumi sedalam lebih dari 100 km. Dalam peristiwa dinamika kontak samudra-benua itu banyak aneka batuan dikeruk dari samudra dan tepi benua, ada juga batuan baru yang terbentuk dalam palung subduksi.

Ada kompleks batuan yang semula penyusun kerak samudra: sedimen laut dalam serpih dan gamping merah, silika radiolaria; batuan beku penyusun kerak samudra dan mantel paling atas (kompleks ofiolit: lava basal membantal, diabas/dolerit, gabro, peridotit). Ada kompleks batuan asal tepi benua: serpih, batupasir, batugamping. Ada kompleks batuan baru yang terbentuk di kontak benua-samudra (palung) berupa batuan-batuan ubahan metamorf dari yang dangkal tekanan rendah (zeolit, sekis hijau) sampai tekanan tinggi-sangat tinggi (sekis biru-eklogit). Tertekan karena tabrakan lempeng dengan lempeng.

Namanya area tabrakan pasti kompleks dan rumit kondisinya. Begitulah selama jutaan tahun batuan-batuan aneka asal ini diambil, dikeruk, dicabut dalam peristiwa tabrakan lempeng dengan lempeng, lalu mereka dimasukkan, dipindahtempatkan ke area kontak palung samudra-benua. Karena lempeng samudra menekuk maju tenggelam ke dalam mantel Bumi, kompleks batuan ini pun teraduk, teracak sangat kacau, terdeformasi membentuk kompleks batuan yang bancuh (chaotic, erratic, kacau) yang terkenal sebagai kompleks melange (bahasa Prancis untuk campuran). Jadi Karangsambung adalah kompleks melange berumur Kapur asal palung laut dalam tempat lempeng samudra menunjam.

Tetapi kini Karangsambung ada di atas daratan, bukan lagi palung dalam 6-7 km di bawah muka laut. Ya itu karena palung purba berumur 150-66 juta tahun yang lalu ini kemudian secara perlahan namun pasti terangkat terus ribuan meter dari tempatnya semula dan akhirnya muncul di atas daratan. Ia muncul dengan segala kerumitannya semula.
Awal Mei yang lalu kami berjalan di antara perbukitan dan sungai yang menyingkapkan kerumitan itu. Kami menyaksikannya dan belajar daripadanya.

Karangsambung tidak berdiri sendiri sebagai kompleks subduksi Kapur, sebab subduksi itu harus merupakan sebuah jalur penunjaman lempeng samudra. Sambungannya ada, dan dari tahun 1970-an ia sudah disambungkan ke Ciletuh di Sukabumi- Jawa Barat, ke Jiwo/Bayat di Klaten-Jawa Tengah, bahkan ke Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Tempat-tempat ini terkenal sebagai jalur subduksi Kapur (Katili, 1972; Asikin, 1974; Hamilton, 1979). John Katili, Sukendar Asikin, Warren Hamilton adalah para pelopor tektonik lempeng untuk Indonesia. Teori subduksi Kapur Ciletuh-Karangsambung-Jiwo-Meratus ini diketahui oleh dan diajarkan kepada semua geolog dan mahasiswa geologi.

Itu juga yang diajarkan saat saya masih mahasiswa geologi dan belajar tektonik lempeng pada tahun 1987. Karena suka dengan tektonik lempeng, saya pun pergi ke Ciletuh dan memetakan serta mempelajarinya sebagai skripsi bertema petrotektonik kompleks ofiolit subduksi Ciletuh. Tahun 1989 saya lulus sebagai sarjana geologi dengan skripsi petrotektonik Ciletuh. Namun, 25 tahun kemudian, setelah saya banyak meneliti semua area jalur subduksi Kapur itu dari Ciletuh sampai Meratus bahkan Sulawesi, saya harus mengubah rekonstruksi lama dari Katili, Asikin, dan Hamilton tentang jalur subduksi Kapur itu. Saya pun menerbitkan makalah (Satyana, 2014, Proceedings IPA, Poceedings IAGI) yang menyimpulkan bahwa: Ciletuh bukan sambungan Karangsambung, Jiwo/Bayat bukan kompleks subduksi tetapi ia justru ujung sebuah mikrokontinen, Meratus pada awalnya adalah jalur subduksi yang lebih tua daripada Karangsambung, dan beberapa hal baru lainnya.

Paper Satyana (2014) itu adalah sebuah paper yang kontroversial sebab berbeda pendapat dengan pendapat-pendapat yang sudah lebih dari 40 tahun mapan (established) dan berasal dari ahli-ahli tektonik kelas dunia seperti John Katili dan Warren Hamilton, atau Sukendar Asikin yang meneliti untuk pertama kalinya secara detail konsep tektonik lempeng atas Karangsambung. Tetapi lima tahun setelah saya menerbitkan makalah itu, saya justru makin yakin bahwa Ciletuh bukanlah sambungan Karangsambung. Mengapa saya berbeda dengan para peneliti terdahulu? Sebab 40 tahun yang lalu para peneliti terdahulu tidak punya data selengkap sekarang. Semua dalam geologi harus didudukkan dalam ruang dan waktunya. Kini kita punya data-data tentang ruang dan waktu yang lengkap atas batu-batu di Ciletuh, Karangsambung, Jiwo/Bayat, Meratus, dan Bantimala-Barru di Sulawesi Selatan. Maka sebuah rekonstruksi tektonik baru atas subduksi Kapur harus dibuat.
Tetapi rekonstruksi yang baru ini pun (Satyana, 2014, modifikasi 2018-2019) memberikan problem baru atas Karangsambung dan Ciletuh. Kemana sambungan mereka? Ciletuh itu kompleks subduksi, benar, tetapi ia tidak seperti yang dibayangkan banyak orang. Juga di mana suture/kontak benturan mikrokontinen yang ujungnya diduduki Bayat itu? Juga bagaimana mereposisi palung Meratus dan Bantimala-Barru relatif terhadap keberadaan mikrokontinen Paternoster dan pembukaan Selat Makassar?
Itulah beberapa problem baru yang harus dicari jawabannya. Sayangnya, tidak banyak geolog atau ahli tektonik yang tertarik menelitinya, bahkan mereka tahu masalahnya pun belum tentu. Begitulah dilema hardcore geology, saya pun hampir tanpa kawan memikirkan dan mengerjakan hal-hal ini... Tetapi sebagai seorang yang suka mengaku hardcore geoligist saya telah memilih menceritakan apa yang lebih mungkin terjadi atas jalur subduksi Kapur itu berdasarkan data-data terbaru, sebab bercerita, mempublikasikan, tidak diam saja, adalah bagian dari passion saya atas geologi Indonesia, sekalipun itu berbeda dari teori mapan.

"I am a good supporter of data, when data changes, the reconstruction should change," jawab Prof. Robert Hall, ahli tektonik terkenal dari Inggris, lebih dari sepuluh tahun yang lalu ketika di sebuah pertemuan ilmiah saya bertanya kepadanya mengapa dia dan kelompok risetnya (SE Asia Research Group, University of London) mengubah pendapat mereka sendiri tentang Selat Makassar.

Saya pun begitu atas Jalur Subduksi Kapur dari Ciletuh-Karangsambung-Jiwo-Meratus-Bantimala.

0 Komentar

Posting Komentar
HarianMerdeka Network mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.Kirim lewat WA Center: 085951756703
DMCA.com Protection Status