HARIAN MERDEKA.ID|Budaya
Jawa itu menyediakan sedemikian banyak pasemon, perumpamaan, peribahasa untuk
menggabarkan situasi aktual yang saya pikir aktual sepanjang zaman. Kali ini
saya ingin bercerita tentang ayam trondol, yang sebenarnya bisa punya banyak
pengertian. Pertama, ayam kecil yang jumlahnya (biasanya) cukup banyak, dan
dianggap (paling) bodoh. Agak aneh memang, bagaimana manusia bisa membedakan
ayam pinter dan ayam bodoh. Tapi sebenarnya mudah saja, ayam bodoh di hari
gini, kalau ketemu motor lewat biasanya mudah panik. Ia biasanya lalu lari2
ngawur, nabrak sana nabrak sini. Biasanya kalau di pinggir jalan raya, jenis
inilah yang paling mudah disambar kendaraan lewat.
Tentu saja langsung bablas. Jadi kalau lihat,
ada bangkai ayam dengan bulu berhamburan di pinggir jalan. Dapat dipastikan ia
sejenis ayam trondol. Dalam peribahasa Jawa, ada ungkapan "pitik trondol
diumbar ing pedaringan". Secara harafiah ini mirip peribahasa Melayu: tikus
mati di lumbung! Pedaringan itu tempat menyimpan beras, bentuknya bisa apa saja
peti, lemari, atau omah lumbung. Pointnya, si ayam ini sekalipun diumbar,
dilepas liarkan di sekitar lumbung. Tetap saja cuma clingak clinguk mematuki
tanah. Ia bukanlah penjaga yang baik, tapi sekaligus bukanlah pencuri yang
cukup cerdas. Ia hanya bahan tertawaan! Persis seperti: ah sudahlah.
Pemaknaan
kedua, berkait dengan kultur adu jago atau sabung ayam. Biasanya salah satu
bahan taruhan, bila salah satu atau kedua penjudi sudah tak punya lagi uang
atau sesuatu untuk dipertaruhkan. Ia akan mempertaruhkan, si ayam jago-nya itu
sendiri. Ingat zaman Pendawa terlibat judi adu dadu kopyok dengan Kurawa, lalu
ia dikerjain Sengkuni. Setelah tak ada lagi yang dipertaruhkan, taruhan terakhir
adalah Drupadi, permaisuri Yudhistira. Tentu itu bukan maunya Pendawa, apalagi
Yudhistira. Ini siasat licik Sengkuni, seorang tokoh antagonis yang dibela
mati-matian an oleh CN. Ia dianggap simbol korban kebengisan fitnah masa lalu.
Sehingga di sisa hidupnya ia abdikan diri sebagai provokator, cerita ironik
yang mengada-ada menurut saya. Ketika akhirnya Drupadi dimenangkan, maka
munculah niat jahat Kurawa untuk menelanjanginya. Karena tak tega melihatnya,
para Dewa turun tangan membuat keajaiban, dengan membuat kain jarik yang
dipakainya tak pernah habis lilitannya. Laksana air yang tak habis ditimba,
hingga para Kurawa teler kehabisan tenaga tak mampu membuka aurat Drupadi.
Hanya konde rambutnya yang bisa diurai, dan sejak itu ia tak mau menyanggulnya
kembali.
Hingga tiba Perang Baratayudha,
dan ia mengkeramasnya dengan darah Dursasana yang dianggapnya paling
mempermalukan harga dirinya. Dalam istilah Jawa, apa yang terjadi pada Drupadi
laksana ayam jago itu, ia telah di-trondoli. Ayam yang kalah sebagai taruhan,
biasanya untuk mempermalukan si pemilik lama dicabuti bulunya, hingga tinggal
tampak kulitnya. Dibiarkan lepas berlarian menanggung malu, hingga akhirnya
mungkin mati disembelih.
Apa
relevansinya dengan kondisi hari ini? Saya melihat fenomena ini terjadi di kubu
Prabowo dan tim sorak horenya. Mungkin dengan strategi populisme untuk menang
cepat. Ia menggunakan hoax, ujaran kebencian, dan fitnah. Tentu sasarannya
adalah masalah kelas paling bawah, yang paling susah, dan mudah terbakar. Ia
menggunakan "para ayam trondol" ini, tidak hanya sekedar sebagai
obyek tetapi sekaligus subyek. Terbukti dan dapat dilihat, biasanya jika si
pelaku ditangkap, lalu mimbik2 minta maaf, minta diampuni kesalahannya.
Menganggap diri hanya emosi sesaat, atau malah justru menjudge diri sebagai
korban dari informasi yang salah. Mereka ini jumlahnya banyak sekali, dan tak
memandang SSE (status sosial ekonomi). Semakin pesimis orang memandang hidup di
masa depannya, ia layaknya pitik trondol. Orang yang sebenarnya kelas paling rapuh,
sangat mudah dipermalukan, lalu disembelih begitu saja. Tentu saja saya
prihatin, berapa banyak orang yang dikorbankan begitu saja, untuk bukan suatu
kemenangan yang sejati. Dan puncaknya adalah peristiwa semalam, ketika KPU
mempercepat pengumuman hasil Perhitungan Pilpres dan Pileg. Ini semacam
strategi untuk mentrodoli pihak yang kalah. Suatu kekalahan yang sebenarnya
sudah diketahui 2 jam setelah hajatan pemilihan selesai dilakukan. Lalu untuk
apa People Power atau Gerakan Kedaulatan Rakyat itu dilakukan. Jawabannya
sederhana: kita ini masyarakat sinetron, kita tidak cukup nonton sinetron di
telepisi tapi juga butuh di dunia nyata. osok acara adu jago gak ada
sinetronnya.
Terakhir
apakah semua trondol itu jelek? Setidaknya ada seorang pengarang atau penggubah
lagu Tarling favorit aya asal Indramayu bernama asli Sutono tapi lebih populer
dipanggil Nono Trondol atau Trondhol Melody. Lagunya paling populer Juragan
Empang bisa menasional, padahal berteks bahasa gaya Cirebonan. Sayang musisi
berbakat ini telah meninggal tahun 2016. Jika mengenangnya, saya suka tersenyum
sipu sendiri deweke pancen trondhol tenan.
Oh
ya, ayam jago (sejati) sudah berkokok mengabarkan kemenangan yang diumumkan
secara dipercepat. Mengingatkan gerompolan pitik trondhol dipersilahkan menepi dulu,
daripada pada kesamber.
Sing
penting: menang rasah umuk, kalah mbok rasah do ngamuk!
0 Komentar