![]() |
Suasana Kota Yogyakarta Tahun 1952 tempo dulu tepatnya di jalan Malioboro |
HARIANMERDEKA.ID|
Postcard di bawah ini bagi saya bercerita sangat banyak sekali. Mungkin foto
sejenis inilah yang menasbihkan Jogja sebagai kota sepeda, ketika sepeda masih
merajai jalanan kota. Tak ada yang namanya jalan satu arah, semua jalan bisa
dilalui dua arah. Tak ada juga pembatas tengah jalan, semua jalan terbuka
lebar. Saya sering juga bertanya, mengapa pada tahun awal 1950-an di Jogja ada
sedemikian banyak sepeda. Jauh lebih banyak dari kota-kota lain? Padahal Jogja bukanlah kota yang kaya-kaya amat, tak ada
terlalu banyak bisnis sebagaimana kota lainnya.
Setelah masa
Perang Revolusi, Jogja malah relatif tambah miskin. Bergabung dengan Republik
Indonesia justru membuat kerajaan tambah sengsara, Bukan saja karena harus
menyediakan daerahnya sebagai ibukota negara, namun terutama harus ikut
membiayai roda pemerintahan negara yang masih bayi dan minim pendanaan. Tapi
demikianlah watak kota ini, walaupun kekurangan dan bersahaja, semangat berbagi
dan peduli-nya sangat luar biasa. Mangkanya sekarang kalau ada yang di Pusat
petentang-petenteng karena merasa diri ibukota yang kaya, mbok yao ingat
sejarah. Tak ada NKRI, tanpa ada kiprah kota dan orang Jogja! Lalu sekali lagi
darimana datangnya ribuan sepeda itu? Saya pikir, politik bumi hangus yang saya
pikir di hari ini sudah jadi karakter konyol bangsa ini. Sebelum kemerdekaan di
Jogja dan sekitarnya terdapat 22 pabrik gula, dan nyaris semuanya dibumi
hangskan pasca kemerdekaan.
Tentu untuk
mencegah kaum kolonial menguasai dan mengaktifkannya kembali. Walau bangunannya
dibakar, tapi rupanya sepeda-sepeda itu termasuk
yang diselamatkan. Dan tentu jumlahnya bisa ribuan, mengingat sedemikian
luasnya area penanaman lahan tebu yang rata-rata memang dijangkau menggunakan sepeda.
Saya sering mendengar cerita, bahwa di masa perang
revolusi akibat bergabungnya Kraton Ngayogyakarta sebagai kerajaan merdeka ke
RI. Membuat sengsara yang terlalu (baca: rekasa sing kebengetan), terutama bagi
kalangan priyayi. Sedemikian sengsaranya mereka, hingga pada satu kurun bila
sebelumnya "ora tau napak lemah".
Tidak pernah menginjak tanah, saking
ningratnya. Banyak yang harus berjualan barang-barang warisan keluarga di sepanjang Malioboro hanya sekedar
menyambung hidup. Banyak para bangsawan yang menarik becak, bahkan ibu-ibu ningrat yang terpaksa harus jadi buruh gendong. Tak
lama tentu saja, karena sejak itu juga terjadi perubahan sosial yang besar.
Tema yang menjadi bahasan mahaguru Selo Soemarjan untuk disertasinya di Cornell
University. Sebuah buku yang tetap menjadi acuan dasar pelajaran sosilogi yang
tak lekang dimakan waktu. Para priyayi sebagian bermutasi menjadi para
wirausaha menjadi pedagang batik, sebagian lagi tentu menjadi pegawai negeri
dan yang terbesar pindah ke Jakarta. Hal ini menjelaskan kenapa sampai hari ini
birokrasi di DKI Jakarta selalu didominasi oleh orang-orang Jogja maupun para keturunannya. Jangan lupa 80%
Gubernur DKI Jakarta itu kalau gak orang Jogja asli, pasti sangat berbau Jogja.
Sial betul, bahkan gubernur DKI terakhir dan terjelek, juga berasal dari Jogja.
Bukan dari golongan priyayi, tapi malah sangat berbau Arab.
Kembali ke Malioboro, pada masa itu sebagaimana
pertokoan atau wilayah bisnis, bersifat terbuka. Dalam arti tak ada peneduh
jalan, toko2 mepet langsung dengan trotoar. Tak ada pohon perindang. Karena
pohon yang ditanam, umumnya hanya ada di pertigaan jalan itu pun lebih sebagai
penanda daripada peneduh. Penanda bisa dibaca sebagai tempat para memedi atau
hantu berumah. Kenapa diberi rumah? Supaya gak keluyuran mengganggu orang2 di
jalanan. Makhluk halus lumrah dianggap sebagai bagian keseharian hidup. Bukan
sesuatu yang harus ditakuti, tetapi juga tak perlu dijadikan kawan. Malioboro
sendiri sesungguhnya jalan yang sangat pendek. Ruasnya antara selatan rel
Kereta Api Stasiun Tugu, sampai perempatan Ketandan dan Pajeksan. Sisi selatan
setelahnya, dulu disebut Jalan Pecinan, kemudian diganti nama menjadi Jl. Ahmad
Yani pada masa Orde Baru. Tapi setelah era Reformasi dan Jogja istemewa
kembali, diganti lagi menjadi Jalan Margomulyo. Demikian pula jalan di Utara
Malioboro yang dulunya bernama Tugu Kidul selama masa kolonial, diubah menjadi
jalan Mangkubumi, sekarang bernama Margoutomo. Tapi Malioboro tetap tak
tersentuh! Bahkan untuk menguatkannya, banyak dilahirkan mitos-mitos baru yang sifatnya sangat njawani. Paksi Raras Alit sebagai
figur lulusan Sastra Jawa UGM, yang terakhir menjadi Ketua FKY 2019 turut
menguatkan penasbihan itu. Malya-bara katanya.
Lalu ada suatu pertanyaan? Mengapa sisi Barat
Malioboro relatif lebih ramai dan semarak dibanding sisi Timur? Dan potret-potret dari masa lalu juga nyaris 90% selalu mengabadikan
dari sisi tersebut? Sangat jarang dari sisi Timur. Jawabannya, karena di sisi
Timur tidak melulu perokoan, ada hotel, ada gedung fremansori (yang kini jadi
gedung DPRD), ada bangunan milik gereja (yang kini jadi Malioboro Mall), ada
kawasan Kepatihan, ada bangunan perkantoran). Rupanya sisi Timur ini tak
terlalu menarik bagi obyek fotografi. Padahal hanya ada satu bangunan termegah
di sisi Barat yang ada, yaitu bekas Apatik Rathkamp yang kini menjadi Apotik
Kimia Farma.
Selebihnya
adalah bangunan berasitektur China. Ada yang berloteng, tapi rata2 masih
tingkat satu. Banguna yang sejak dulu memang sudah berkonsep ruko (rumah toko).
Dalam foto di bawah, saya baru sadar kenapa di setiap kota selalu ada toko yang
bernama De Zon. Apakah itu cabang dari jaringan toko yang terbesarnya ada di
Bandung? Bukan! Banyak orang suka menamai tokonya Matahari sejak zaman dulu.
Kenapa matahari? Aneh juga.
Salah satu yang lenyap pada hari ini, adalah
penggunaan istilah "kongsi" untuk menyebut usaha bersama. Kosa kata
ini tiba-tiba jadi bercitra negatif, jatuh harga. Seolah-sekolah setiap kongsi adalah jahat! Kongsi jatuh naknanya
sebagai persekongkolan, bukan gotong royong. Malioboro pada masa 1950-an
mengajarkan bahwa advertensi itu bermuka dua. Ada plank nama menghadap depan,
tapi tetap harus dilengkapi plank yang melintang agar bisa dilihat dari jauh.
Yang pertama berkuran lebih besar, yang melintang relatif lebih kecil. Hari ini
nyaris lenyap. Apa lagi yang lenyap dari Malioboro?
Di hari ini? Tentu keramahtamahan yang tulus,
kebersahajaan bersikap, kemandirian, kelokalan, kesederhanaan. Malioboro masih
di Jogja, tapi yang jelas bukan lagi milik orang Jogja.
Kartu pos terbitan Tan Tat Hin, Semarang (sic), 1952.
Koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD)
0 Komentar