HARIANMERDEKA.ID|Sebenarnya
tidak banyak yang memahami bahwa ada peristiwa titik balik dimana Pak Harto
punya kesempatan baik untuk dikenang sebagai Bapak Pembangunan secara hakiki.
Dimana ia harusnya merasa cukup, dan tak lanjut lagi memaksakan dirinya terus
berkuasa. Periode mana ketika ia berubah dari "Pemimpin Yang Baik",
hingga tinggal diingat sebagai "Bapak yang Baik". Peristiwa itu
bukanlah sesuatu yang penting secara sosial-politik, walau sebagai sebuah
skandal tetap saja ia menyedot perhatian yang sangat luar biasa pada masanya.
Peristiwa yang sampai sekarang, bahkan
beberapa media masih menganggap tabu untuk secara terang-teranganan menyebut siapa saja yang terlibat
secara jelas. Bahkan masih menggunakan "pasemon", si ini dan si itu,
yang pernah jadi ini dan jadi itu. Jenis kebohongan, yang terus berlanjut,
bukan saja atas nama sopan santun, namun terutama atas dasar ketakutan itu
sendiri. Peristiwa ini juga banyak memberi makna, setelah dikaji secara lebih
mendalam, dengan kata kunci: "seandainya". Yah, seandainya saja bukan
keputusan itu yang dipilih, seandainya saja bukan jalan itu yang ditempuh.
Kasus ini menyangkut pembunuhan model cantik, sehingga ia dianggap pantas untuk
dibunuh, bukan dari satu sisi tapi banyak sisi. Seorang perempuan yang kita
anggap ia bisa membuat orang lain "karem". Karem, puas karena
kenikmatan yang diberikannya. Namun sekaligus karam, tenggelam karena harus
terlibat dengannya. Baiklah kita dedah satu-persatu "seandai"-nya
itu.
Seandanya satu: Dietje (nama lengkapnya Dietje Budiarsih, namun
setelah menikah menjadi Dietje Budimulyono). Ia seorang foto model laris, yang
dalam khazanah kultur Jawa ia dapat dianggap sebagai sejenis perempuan
reinkarnasi Ken Dedes. Seorang wanita legendaris era Jawa Kuno yang meyimpulkan
silang sengkarut antara kecantikan, kenikmatan, dan kekuasaan. Ia simbol wanita
yang dari luar tampak sederhana dan sangat bersahaja. Namun memiliki sorot mata
tajam, dengan kulit kuning langsat dan bau tubuh harum nan memikat. Kekuatan
terbesarnya konon (maaf) ada sinar terang yang muncul dari bagian
kewanitaannya. Sehingga ia tidak saja menjadi perhatian namun juga selalu jadi
rebutan. Dietje secara tidak resmi adalah wanita simpanan Suwoto Sukendar (eks
KSAU), namun ia kemudian diumpankan kepada Indra Rukmana (mantu Soeharto) untuk
memuluskan proyeknya, setelah ia menjadi masyarakat sipil. Di sisi lain, Dietje
tetap "ngobyek" melayani banyak pelanggan lain seperti misalnya
Sudwikatmono. Bahkan tak kurang Mbak Tutut (istri Indra Rukmana) juga jatuh
cinta dan menjadikan teman lesbi-nya. Cerita cinta yang rumit ini, berakhir
saat di dalam perutnya ada kandungan janin berumur dua bulan. Tidak jelas
betul, siapa laki2 yang dimintai pertanggungan jawab, hingga akhirnya ia
dibunuh. Masalahnya, jadi besar karena justru cara pembunuhannya yang sangat
sembrono dan sembarangan. Ketika mayatnya "cuma" dibuang ke kebun
Karet di Kalibata tak jauh dari rumahnya. Seandainya saja ia dilenyapkan tanpa
jejak!
Seandainya kedua: Pakde (nama sebenarnya adalah Muhammad
Siradjudin, lahir di Sumenep, 1932). Ayahnya, Manihotin M. Brojoturuno, seorang
mantri polisi pada zaman Belanda. Ia sempat mengenyam pendidikan di HIS. Ketika
revolusi pecah pada 1946, Pak De yang masih remaja berhenti sekolah, lalu
menjadi tentara di depo batalyon Divisi Untung Surapati, Malang. Setelah keluar
dari militer, ia berdagang namun gulung tikar dan berakhir sebagai seorang
dukun. Berdasarkan data2 yang terungkap di pengadilan dan berbagai invetigasi
yang dilakukan. Ia memang sejak semula telah disetting sebagai "orang yang
disalahkan" sebagai pembunuh Dietje. Bukan saja karena, ia dianggap dekat
dengan peragawati terkenal ini (sebagai penasehat spiritualnya), namun ia juga
dikenal memiliki hubungan bisnis barang antik (tepatnya barang klenik) dengan
Suwoto Sukendar. Masalahnya, Si "King Maker" tidak memperhitungkan
kecerdasan (sebagai anak Polisi) dan ketabahannya saat ditindas (karena jelas
ia biasa melakukan laku prihatin). Sejak semula ia sudah tidak mau mengakui dan
menolak semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dengan berbagai argumentasi
logis. Walau tetap menjalani hukuman selama 13 tahun, ia dibebaskan begitu saja
pada masa pemerintahan BJ Habibie tanpa pernah ia mengajukan grasi apa pun.
Seandainya saja, bukan ia yang dipilih sebagai yang dikorbankan!
Seandainya ketiga: Peristiwa ini terjadi pada tahun1986, tepat
20 tahun setelah Soeharto memerintah. Angka 20 adalah angka kritis, pada jumlah
yang sama Sukarno bisa diberhentikan oleh sebuah "kudeta merangkak".
Suharto, sudah banyak diingatkan bahwa kasus ini adalah peringatan baginya.
Pilihan untuk mundur dan meninggalkan jejak yang baik untuk dikenang oleh
rakyat dan bangsanya. Atau melanjutkan pemerintahannya untuk sekedar melindungi
keluarganya dan membesarkan bisnis anak2nya. Sebelumnya, ia pernah "mengkhianati"
saudara-nya sendiri: Sri Sultan HB IX (Wapres 1973-1978) yang konon akan
gantian saling memerintah. Namun jangankan mengajaknya untuk jabatan kedua
kali, ia lebih memilih Adam Malik sebagai penggantinya. Inilah awal mula
terjadi "oposisi terselubung", yang kemudian membentuk apa yang
mereka sendiri sebut sebagai Kelompok Seven-Up, yang kemudian berkembang
menjadi Kelompok Petisi 50. Ia telah diingatkan berkali2 oleh kelompok sepuh
seusianya yang sebenarnya pada awal Orde Baru berdiri, berperan besar
mendukungnya dan menutupi segala sejarah kelamnya. Namun ia jalan terus, hingga
pada titik balik Peristiwa Dietje ini. Dimana secara kasat, ia lebih membela
kepentingan keluarganya, ia menjalankan 12 tahun masa selanjutnya hanya sebagai
"Bapak Yang Baik"!
Pelajaran apa yang didapat oleh Keluarga Cendana: sejak
peristiwa itu, tak terjadi lagi upaya "bersih-bersih yang jorok dan sembrono". Konon
bila terjadi kasus yang sama, mereka yang dianggap berkhianat atau membahayakan
kepentingan mereka langsung dibuang ke kolam ikan. Kok cuma kolam ikan? Kolam
ikannya besar sekali, seluas laut di Kepulauan Seribu, tempat Si Babeh
menjalankan hobbynya mancing ikan. Konon, sekali lagi konon menurut sahibul
hikayat: saat ia memancing ikan, saat itulah ia menunjukkan kepada musuh-musuhnya. Resiko apa yang akan
dihadapi manusia-manusia yang mengkhianatinya.
Mereka yang akan berhenti sebagai makanan ikan. Gitu kok dirindukan!
0 Komentar