HARIANMERDEKA.ID| Pada suatu hari, lebih dari 10 tahun lalu. Saat dolan ke Pasar Triwindu, saya ditawari sebuah karya seni ukir yang cukup aneh. Diukir dari segelondong kayu jati utuh, tanpa lem, tanpa sambungan. Dimana bagian tengahnya berbentuk sangkar. Lucunya, di atasnya justru ada bentuk burung garuda Pancasila dan justru yang dikurung adalah seekor macan yang di dalamnya terdapat bola. Semula saya pikir, macannya dikandangi agar bermain bola. Salah! Karena itulah bentuk Seni Ukir Macan Kurung kontemporer, jauh dari bentuk aslinya. Apalagi karya milik saya sudah dicat sedemikian rupa, agar tampak kekinian.
Bertahun kemudian, saya baru tahu itu adalah apa yang disebut model kerajinan atau karya seni bernama Macan Kurung. Sebuah karya seni ukir paling rumit dan sulit, yang pernah dibuat oleh perajin dari Jepara. Bagaimana tidak rumit, karena ukiran ini dibuat tanpa sambungan pada satu lonjor gelondongan kayu utuh, yang harus dicungkili agar terdapat satu ruang kosong di dalamnya, membentuk sangkar, dimana di dalamnya terdapat seekor macan yang terkurung.
Belakangan, saya baru tahu bahwa si macan bukan saja di kurung. Tetapi di kakinya atau lehernya digantungi bola besi. Sudah dikurung, dijerat dengan bola besi. Simbol apakah si macan ini? Sedemikian menakutkankah dia? Karya patung Macan Kurung, belakangan dijadikan simbol kota Jepara. Karena keunikan dan tingkat keunikan dan kekhasan teknik pembuatannya. Jika kita akan masuk kota ini, di perbatasan dengan kudus ada sebuah gapura yang meyiratkan karya ini. Tentu dalam bukan dalam bentuk kayu, tetapi patung dicor beton.
Tapi tahukah publik, bahwa jenis karya inilah yang membuat RA Kartini tergerak memulai perjuangannya.
Macan Kurung sesungguhnya telah lama dibuat menjadi produk seni ukir Jepara sejak masa Asmo Sawiran, ayah dari Singowiryo. Sang ayah dimitoskan sebagai penemu tatah milik pemahat legendaris masa Majapahit, benama Sungging Prabangkara yang jatuh di daerah Belakang Gunung. Tentang hal ini akan saya ceritakan dalam artikel terpisah. Namun, baru pada era sang anak, Singowiryo, karya ini dikenal secara lebih luas. Si anak adalah yang segenerasi dengan Kartini, yang beruntung mau bertindak sebagai pembinanya.
Tidak, tanggung-tanggung, Kartini dan kedua adiknya Kardinah dan Rukmini, mengupayakan pengiriman karya-karya seni ukir Jepara untuk ikut dalam Nationale Tentoonstelling voor Vrouwnarbeid (Pameran Nasional Karya Wanita) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda di Den Haag tahun 1898.
Hasil karya tersebut mendapatkan perhatian khusus dari Ratu Wilhelmina dan Ibu Suri Ratu Emma. Bahkan kepada ketua panitia, Ny. Lucardie, Ratu dan Ibu Suri meminta dibacakan surat pengantar dari Kartini. Kejadian tersebut ditulis di beberapa koran Belanda, salah satunya surat kabar De Roterdamse Courant tanggal 30 Agustus 1898. Pameran ini ternyata menjadi pintu pembuka bagi perkembangan seni ukir Jepara. Sebab ketika tahun 1899 Pemerintah Hindia Belanda membuka kantor cabang lembaga perdagangan Oest en West di Batavia, lembaga ini langsung bekerjasama dengan RA Kartini, dengan memesan berbagai jenis ukiran Jepara.
Untuk dapat memenuhi pesanan ini, RA Kartini kemudian mendirikan bengkel ukir di belakang pendopo kabupaten. Bengkel ukir ini kemudian dipimpin Singowiryo yang membawahi teman-temannya sesama pengukir dari Belakang Gunung. Bengkel Kartini ini kemudian mendapatkan banyak pesanan. Bukan saja ke Belanda tetapi juga telah mulai ada pesanan dari Jepara dan beberapa negara lainnya. Melihat seni ukir yang telah telah berhasil dikembangkan oleh RA Kartini, Bupati Jepara, RMAA Koesoemo Oetoyo yang tahun 1905 yang menggantikan ayahanda RA Kartini, RMAA Sosroningrat, kemudian mewajibkan semua sekolah yang ada untuk memberikan mata pelajaran seni ukir.
Untuk menghargai peran RA Kartini dalam pengembangan seni ukir dan rintisan yang dilakukan Bupati RMAA Koesoemo Oetoyo. Pada tahun 1929 Pemerintah Hindia Berlanda mendirikan Openbare Ambachtsschool atau Sekolah Pertukangan dengan Jurusan Seni Ukir. Sekolah pertukangan ini bertujuan untuk meningikatkan kualitas seni ukir Jepara, baik bentuk , motif, maupun ragam hiasanya. Konteks "openbare" harus digarisbawahi, karena ia menunjukkan sebagai sekolah terbuka yang memungkinkan siapa saja bisa menimba ilmu di dalamnya.
Lalu apa sebenarnya Makan Patung Macan Kurung itu sesungguhnya? Disinilah ironi-ironi yang ada.
Dalam bentuknya yang asli, burung yang di atas sangkar bukanlah Patung Garuda Pancasila. Tetapi gambar pertarungan antara burung garuda dengan seekor naga. Menyimbolkan pertarungan antara kelompok pengukir pribumi, yang selama ini menganggap dirinya selalu dicengkeram dan diperas oleh tekgkulak-tengkulak bangsa Tionghoa. Sementara, si macan yang terkurung lebih menyimbolkan si penguasa pribumi yang tak berdaya menolong rakyatnya. Apakah si macan ini simbolisasi dari Kartini, yang telah diramalkan (dan dirindukan) sejak pertama kali karya ini dibuat oleh Asmo Sawiran.
Bisa ya bisa tidak. Tapi mosok Kartini disimbolkan sebagai macan?
Beberapa waktu yang lalu, di awal tahun 2020. Setelah sekian lama jenis patung macan kurung ini mulai surut permintaannnya. Sebuah organisasi di Jepara bernama Rumah Kartini, berinisiatif membuat "macan kurung kekinian". Tak ada lagi pertarungan burung garuda dan ular naga. Tak ada lagi burung garuda di atas sangkar. Yang ada, terdapat empat naga Jawa yang justru menjadi dudukan kaki sangkar. Ekor dan tubuhnya membelit di jeruji sangkar. Keempatnya saling membelakangi, menghadap empat penjuru mata angin. Yang bermakna sebagai penjaga daripada pengganggu. Di atas sekeliling sangkar, di goreskan sebuah cerita wayang. Dan di puncaknya digantikan dengan sebuah buku.
Pertanda baru apakah? Yang jelas zaman sudah berubah. Tak ada lagi nada minor dan sentimen berlebihan terhadap hegemoni orang Tionghoa terhadap etnis Jawa. Digantikan, sebuah simbolisasi akulturasi naga China tapi bermahkota Jawa. Saling bekerjasama, menjaga dan menghormati. Pada bagian puncaknya, perselisihan itu digantikan oleh penekanan lembaran buku yang terbuka. Buku sebagai alat untuk tidak sekedar sarana belajar terhadap sejarah masa lalu. Tetapi terutama merubah cara berpikir bahwa dunia juga dapat berkembang, ke arah yang lebih baik.
Tulisan ini bertujuan terutama untuk menunjukkan bahwa seorang Kartini, tidak melulu hanya dikenal memajukan pendidikan kaum wanita. Dengan apa yang dipahami sebagai emansipasi perempuan. Jauh dari yang dicitrakan justru sebagai simbol wanita yang kalah, yang tak kuasa ketika ia dipoligami. Ia memiliki kesadaran berdagang, yang melampaui zamannya. Dan ia telah melakukannya sebagai international businesswoman, pengusaha wanita lintas negara. Ia berkarya nyata: mempromosikan produk masyarakatnya, memberi jalan bagi perdagangan lintas negara. Ia turut mendirikan sekolah ukir bagi anak-anak laki, tidak sekedar kursus baca tulis bagi anak perempuan.
Intinya ia tidak sekedar menulis, mengeluh, dan curhat. Tapi ia bergerak, berkarya dan berbagi. Karena sebagai seorang yang cinta tanah airnya, ia sangat terinspirasi pada kayu jati (dan berbagai karya yang terbuat darinya). Tanaman yang banyak tumbuh di sekitar tempat ia lahir, tumbuh, dan menjelang takdirnya. Gelisah pada kakaknya Sosrokartono si jenius kosmopolit pertama di etnisnya, lalu berkolaborasi dengan kedua adiknya Rukmini dan Kardinah merancang berbagai karya dari kayu jati. Ia yang tak lelah berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, mengutarakan pemikiran-pikirannya. Ia yang terus bergerak dalam sejarah singkat hidupnya.
Selamat Hari Lahir Ibu Kita Kartini! Harusnya kita makin paham, kenapa dalam lagu untuk menghormatinya ia di sebut sebagai "Putri Sejati". Seorang yang harum namanya.
.Penulis :Andi Setiono Mangoenprasodjo
.
.
0 Komentar