HARIANMERDEKA.ID|Sebagai
periset foto, yang gak kunjung mau menerbitkan buku-nya. Saya bisa dengan mudah
memberi contoh sangat sederhana, tentang betapa walau mendaku sebagai kota
budaya. Jogja termasuk terasing dari masa lalunya, hilang jejak yang tak
terperi. Warganya, budayawannya, sejarahwannya pemalas mendokumentasikan atau
lebih tepat membuat jejak nyata tentang sejarah silamnya. Bahwa di satu kala,
dirinya memiliki bangunan-bangunan indah yang
hari ini diterlantarkan begitu saja. Ini hanya salah satu contohnya yang riil
nyaris terlupakan. Sebagaimana kita tahu, sejak masa kolonial terdapat resto
legendaris bernama Toko Oen. Sejarah awal Restoran ini hanya menjual kue dan es
krim kemudian berkembang menyediakan masakan Indonesia, Belanda dan Cina. Toko
“OEN” membuka cabang di Jakarta (1934) Malang dan Semarang (1936), Tapi tak
pernah ada catatan bahwa toko ini jusru lahir di kota Jogja.
Berawal dari
toko roti yang pertama dibuka oleh Liem Gien Nio di Jogjakarta pada tahun 1912.
Sebutan Oen diambil dari nama sang suami, yaitu Oen Tjok Hok, lalu pada 1922
berkembang menjadi kafe es krim dan restoran. Setelah terkenal dan banyak
pelanggan yang menyukai menunya, Toko Oen membuka cabang di beberapa kota
seperti Semarang, Jakarta, dan Malang. Namun, seiring dengan perkembangan
jaman, Toko Oen di Jogyakarta dan Jakarta akhirnya tutup, hanya tinggal toko di
Malang dan Semarang saja yang masih buka. Pada perkembangan selanjutnya, Toko
Oen di Kota Malang dijual kepada seorang pengusaha yang bernama Dany Mugiato.
Namun belakangan justru jadi ikon kuliner terpenting di kota ini. Benar-benar mempertahankan wajah aslinya yang klasik itu.
Jadi bisa dimengerti sebagai toko cikal bakal, toko
ini memiliki ukuran dan arsditektural yang terbaik, termegah. dan terbesar
dibanding cabang yang ada di Semarang atau Malang bahkan di Jakarta sekalipun.
Sayang toko Oen Yogyakarta tak berumur panjang, konon sudah tutup sejak tahun
1937 dan pindah ke Semarang setelah Kakek Oen membeli sebuah bangunan di
Semarang yang telah memiliki Grillroom di di Jalan Bodjong 52 (sekarang: Jalan
Pemuda). Tahun 1936 bangunan ini diubah sebagai Toko “OEN” Semarang.
Bila
ingin merasakan sajian bergaya Indische ini tempat terbaik. Menu dengan rasa perpaduan bumbu Eropa dan Jawa.
Lalu ditambahi sedikit ornamen bumbu Chinese.Toko yang di Jakarta tutup pada
tahun 1973 setelah toko dibeli oleh ABN Bank yang akhirnya dibongkar untuk
pembangunan perkantoran. Toko “OEN” Malang hampir saja tinggal kenangan. Pada
tahun 1990 cabang Malang mengalami omzet yang menurun lantas menjual toko
tersebut. Oleh pembelinya rencana akan direnovasi untuk dijadikan sebuah
showroom mobil. Karena nama dan bangunan memiliki nilai historis di Malang,
pemerintah daerah Malang melarang merenovasi bangunan bersejarah dengan cara
apapun. Pemilik gedung baru kemudian memanfaatkan identitas dan merek dagang
Toko “OEN” sebagai restoran dan toko es krim. Meski saat itu tidak memiliki
perjanjian apapun dengan pemegang paten merek dagang Toko “OEN” Semarang,
termasuk resep asli Ny. Liem Gien Nio.
Banyaknya permintaan wisatawan Belanda saat bertamu di
restoran Toko “OEN” di Semarang untuk berpartisipasi di Pasar Malam Den Haag
Belanda. Selain itu banyak orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia
merindukan dapur nostalgia Nenek Oen. Pada tahun 1994 Toko “OEN” Semarang
membuka sebuah kedai di Pasar Malam di Den Haag dengan menyajikan menu masakan
seperti aslinya. Koki dan peralatan memasak didatangkan khusus dari Indonesia.
Artinya apa? Jika saat ini Restoran OEN kembali populer, itu terutama berkat
jasa kakek nenek Sinyo Belanda yang "memaksa" resto kuno itu kembali
hidup! Arti lainnya: selera kuliner kita itu sejatinya hanya pengekor atau
follower saja. Gak usah terlalu bangga bisa makan ini itu, kalau kenyataan
sebenarnya hanya cuma "tiru-tiru". Anut grubyuk, padahal gak pernah punya
semangat sebagai penemu. Gitu masih banyak yang ngaku2 sebagai "si lidah
pintar".
Kembali ke fenomena Toko OEN di Jogja, banyak yang
tidak pernah berpikir bahwa kecenderungan seperti ini sudah cukup lama.
Menemukan resep di Jogja, membuka toko awal di Jogja tapi menjadi besar di luar
sana. Sejarah Toko Oen nyaris sama dengan Sejarah Jamu Sido Muncul, yang
sekarang jadi konglomerat obat herbal tradisional itu. Pendirinya orang
Tionghwa di Jogja bernama Go Djing Nio, namun menganggap usahanya sulit berkembang
lalu memindahkannya ke Semarang. Apakah ini menunjukkan bahwa sejak masa
kolonial memang usaha orang2 Tionghoa selalu sukar maju di kota ini? Tentu
perlu riset lebih mendalam. Sependek yang saya tahu, memang orang Tionghoa
Jogja ya usahanya begitu-begitu saja. Ada yang
bisa membesar skala nasional tapi bisa dihitung dengan lima jari.
Lalu bagaimana nasib bekas Toko OEN di Jogja. Nah itu
dia, sekarang jadi "rumah hantu" yang lainnya. Silahkan kalau sekali2
main ke Tugu, bergeraklah ke selatan ke arah Stasiun. Di sisi Timur ada
bangunan yang secara arsitektural sudah rusak wajahnya. Dulu pernah jadi show
room mobil VW, milik PT Garuda Mataram lagi-lagi milik keluarga Probosutedjo. Setelah itu berganti-ganti penggunaannya, sampai sekarang kembali jadi rumah
hantu.
Hambok iyao, ada orang kaya, pengusaha sukses yang mau
membelinya. Mengembalikannya menjadi Toko OEN dan menjadikannya Resto yang
asyik. Itu loh nyonto Resto Honje yang di sudut Barat Daya Tugu yang kalau peak
season orang harus beradu otot hanya sekedar ambil nomer antrian.
Kalau sudah lupa wajah aslinya, nih saya sumbang foto
aslinya. Indah bukan!
For Mr. Erik Snoek, if you need translate this article
can ask for help toDayujiwa. Mboggeg tulungi ya. ora dolan wae.
0 Komentar