Pemekaran Brebes Selatan: Jangan Lagi Uji Kesabaran Rakyat


Ilustrasi: Semangat masyarakat Brebes untuk pemekaran Kabupaten Brebes



HARIANMERDEKA.ID-Isu pemekaran Brebes Selatan bukan cerita baru. Ia adalah akumulasi panjang dari rasa ketimpangan, jarak pelayanan, dan harapan masyarakat wilayah selatan yang selama ini merasa “terlalu jauh” dari pusat kekuasaan Kabupaten Brebes. Karena itu, setiap gestur pemerintah sekecil apa pun, akan selalu dibaca publik dengan kacamata sensitif.


Ketika Komite Pejuang Pemekaran Brebes Selatan mendatangi Pendopo dan tidak mendapati kehadiran Bupati pada Senin (15/12) , reaksi publik pun meledak. Wajar. Dalam perjuangan panjang seperti ini, simbol kehadiran pemimpin sering kali lebih bermakna daripada sekadar agenda birokrasi.


Namun klarifikasi Bupati Brebes Paramitha Widya Kusuma, Selasa (16/12) di Bumiayu yang dihadiri oleh perwakilan dari Presidium Pemekaran, Komite Percepatan Pemekaran Kabupaten Brebes dan Masyarakat Peduli Pemekaran (MPP) patut dicatat: ketidakhadiran itu bukan bentuk penghindaran, melainkan konsekuensi dari tugas negara yang juga tak bisa ditinggalkan. Meninjau penyaluran bantuan gubernur adalah mandat yang sama pentingnya. Masalahnya, publik tidak hidup di ruang agenda publik hidup di ruang persepsi.


Pemekaran Bukan Sekadar Aspirasi, Tapi Ujian Kepemimpinan


Pernyataan Bupati Paramitha Widya Kusuma yang menegaskan komitmen mengawal aspirasi pemekaran Brebes Selatan adalah langkah yang tepat. Tetapi mari jujur: pernyataan saja tidak cukup. Masyarakat Brebes Selatan sudah terlalu sering mendengar kalimat normatif seperti “kami menghormati aspirasi” atau “sesuai mekanisme peraturan”.


Yang ditunggu rakyat bukan hanya sikap menghormati, tetapi keberanian politik. Keberanian untuk berdiri di depan, menyatakan secara terbuka bahwa pemekaran Brebes Selatan adalah kebutuhan objektif, bukan sekadar wacana emosional.


Jika benar proses berada di tangan provinsi dan pusat, maka justru di situlah peran kepala daerah diuji: apakah sekadar penonton administratif, atau menjadi lokomotif perjuangan rakyatnya sendiri?


Hadir Itu Bukan Datang, Tapi Memimpin


Kehadiran Bupati dalam dialog bersama tokoh masyarakat Brebes Selatan patut diapresiasi. Setidaknya, pemerintah tidak memilih jalan sunyi atau defensif. Ruang dialog dibuka, komunikasi dijalin, dan itu penting.


Namun publik berharap lebih dari sekadar “hadir dan mendengar”. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang mampu menerjemahkan aspirasi menjadi peta jalan yang jelas: data apa yang kurang, langkah apa yang sudah ditempuh, lobi apa yang sedang dilakukan, dan tenggat waktu apa yang realistis.


Tanpa itu, dialog hanya akan menjadi forum pelampiasan emosi, bukan alat perubahan.


Jangan Jadikan Stabilitas sebagai Alasan Menunda


Sering kali, alasan menjaga stabilitas digunakan untuk meredam tuntutan. Padahal, stabilitas sejati lahir dari keadilan dan keberpihakan, bukan dari penundaan tanpa kepastian.


Brebes Selatan tidak menuntut hal yang berlebihan. Mereka menuntut keadilan pelayanan, percepatan pembangunan, dan pengakuan atas identitas wilayah. Pemekaran bukan tujuan akhir namun ia hanyalah alat untuk mencapai pemerataan.


Jika pemerintah daerah benar-benar berkomitmen mengawal aspirasi ini, maka saatnya menunjukkan langkah konkret, bukan hanya pernyataan aman.


Catatan Akhir: Rakyat Tidak Pernah Lupa


Perjuangan pemekaran Brebes Selatan akan terus hidup, dengan atau tanpa panggung resmi. Yang menjadi pertanyaan hanyalah satu: apakah pemerintah daerah ingin dikenang sebagai bagian dari solusi, atau sekadar catatan kaki dalam sejarah perjuangan rakyatnya sendiri?


Karena pada akhirnya, rakyat mungkin sabar akan tetapi mereka tidak pernah lupa. (Yws).