Bang Ade Memang Sedang Menyempurnakan Dirinya

 

 
 

 
 
HARIANMERDEKA.ID- Ketika saya memutuskan untuk tidak jadi menuliskan serial Ramadhan "30 Hari Ngrasani Jokowi". Tentu saja, saya punya pertimbangan-pertimbangan yang bersifat pribadi. Terkait pekerjaan lain yang sedang saya garap, atau mood saya yang tiba-tiba buruk karena beberapa komentar aneh saat saya bertanya ke teman-teman. Pun sebenarnya kosa kata "ngrasani" sendiri tiba-tiba distigma menjadi sangat negatif. 
 
Ngrasani yang jatuh harga sekedar sebagai aktivitas ghibah kalau rujukannya selera cara beragama yang sedang trend saat ini. Atau bila dulu sekali, di lingkaran anak gaul dipahami sebagai "ngerumpi" atau "ngegosip". Atau yang paling sial dianggap mirip kerjaan emak2 yang turah wektu, membincang perkara yang tak esensial. Padahal dalam budaya Jawa, ngrasani memiliki makna yang lebih luhur, penuh respek dan rasa hormat. Ia tulus memberi perhatian sebagai bentuk keberpihakan, tanpa harus menjadi bagian dari satu pihak. 
 
Ngrasani berasal dari kata "rasan-rasan". Adalah bentuk catatan yang dilakukan rakyat, saat sang penguasa (tertinggi). Siapa pun itu, baik raja, gubernur, mentri, atau presiden tiba-tiba terasa tak terjangkau lagi. Ia menjadi terlalu kuat, sehingga yang ia dengar adalah apa yang ia anggap paling dekat, paling ia percaya. Padahal mungkin, ia lupa tak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Dalam konteks Jokowi, hal ini sangat terang benderang. Ia sendirian, ia tampak sedang mati langkah. Tampak disanjung, namun sesunggungnya sedang akan dibanting.
 
Barangkali memberinya catatan di waktu yang salah, hanya kontra produktif dan tak berguna. Salah-salah menjadi kayu bakar untuk mereka yang menyalahgunakannya.
 
Barangkali dalam situasi serupa, walau dalam konteks yang sangat berbeda. Saya pribadi bisa sangat memahami keberadaan Bang Ade Armando di tempat yang dianggap oleh teman2 sebagai tempat yang salah. 
 
Ia berada di lingkaran mahasiswa, di depan Gedung DPR yang dianggapnya sedang melakukan kritik kepada lembaga legislatif yang dianggapnya sebagai biang kerok gaduh yang terjadi selama ini. Ia tampak konyol, karena dalam situasi yang dalam ilmu sosiologi populer sebagai "crowded". Kerumunan yang tak jelas lagi siapa kawan, siapa lawan.
 
Tapi benarkah itu konyol? Kalau konyol, sekonyol apakah?
 
Dalam kacamata teman-teman dekatnya, karena kami tumbuh dalam ruang yang sama. Di lingkungan FISIP UI, yang di luar "ideologi heboh"-nya, kami selalu menjunjung tinggi perbedaan. Sejak dulu kala, Bang Ade adalah raja-nya apa yang kita maknai di atas sebagai "kekonyolan". Ia adalah anomali itu sendiri, ia beretnis Minang, tapi sama sekali tidak memiliki watak cari untung. Ia pendidik sejati, guru yang bukanlah sosok yang ingin besar sendiri. Ia selalu punya gairah "membesarkan orang lain". 
 
Jika ada yang menyindir atau sok akrab dengan latar belakang etnisitasnya. Dengan ringan, ia menyebut dirinya anak Jakarta, gak bisa bahasa itu. Ia sangat anti-rasis dalam format apa pun. Di luar ilmu yang didalaminya yang sangat pop dan kekinian, ilmu komunikasi tempat berhimpunnya manusia-manusia cantik, ganteng, bertalenta dan sok ngartis. Ia adalah laki2 sederhana, yang kemana perginya selalu memilih berpakaian sederhana dengan naik kendaraan umum. Ia adalah sosok kosmopolitan-intelektual, yang selalu mengedepankan isi daripada cashing. 
 
Di lingkungan FISIP maupun UI sendiri, ia dianggap "perusuh" sejak lama. Ia selalu bersikap kritis terhadap apa saja. Ketika Rektor UI justru berasal dari lingkungan FISIP, sesuatu yang sangat jarang dan langka. Justru ialah yang menjadi motor yang menelanjangi watak koruptif dari sang rektor, yang sesungguhnya tak lain dari "teman main"-nya sendiri. Sang Rektor yang tampak dari luar sangat sempurna, tapi di tangan Bang Ade tak lebih pesakitan yang harus dihukum seberat-beratnya. Dienyahkan sejauh-jauhnya.
 
Dan pilihan sikapnya itu terus berlanjut, ia gelisah dengan biaya kuliah di UI yang semakin tak terjangkau. Walau sesungguhnya, sebagai dosen tetap ia adalah bagian yang sangat diuntungkan. Secara internal, ia terus merangsek kesana kemari. Dewan Senat yang dianggap sebagai "rumah para dewa" juga ia lawan. Akibatnya, sampai waktu pengajuannya expired, ia tak pernah bisa ditasbihkan sebagai seorang profesor. Sesuatu yang dengan gampang saja ia pahami sebagai sebuah harga yang harus ia terima dengan iklas sebagai pilihan sikap galaknya. 
 
Sebagai teman, tentu saja tak sekali dua. Saya mengingatkannya ketika ia masih rajin menulis di facebook. Dan ia tetap rajin menantang berdebat siapa saja yang tak sepaham dengan dirinya. Ia berprinsip, demikianlah seharusnya sikap demokratis dikembangkan. Ia tak sebagaimana pilihan saya, yang tampak "pengecut", berani menulis tapi enggan beradu argumentasi secara terbuka. Ia juga tak sebagaimana saya, tak segan melebarkan sayap ke dunia verbalisme, karena ruang tekstual sudah terlalu sempit baginya. 
 
Benang merahnya tetap sama, ia berupaya tetap menjaga independensinya dengan garis yang konsisten sama kerasnya. Perpindahan media, tak membuatnya melunak. Saya haqul yakin, sebagai "suporter kekuasaan", bisa saja ia berpindah dari satu komisaris BUMN satu ke BUMN yang lainnya. Tapi saya yakin, ia tak sebagaimana teman2nya yang lain itu. Mereka-mereka yang tiba-tiba juga canggung bersikap, karena menerapkan "pagar tinggi" dalam pergaulan. Ia tak kemana2 dengan pilihan bebasnya itu.
 
Bagi saya, sekali lagi hal ini menjelaskan kenapa ia bersedia hadir dalam demo Senin, 11 April 2022. Demo yang salah waktu, karena terjadi di bulan suci. Demo yang juga salah pilih tema, karena apa pun temanya tak akan nyangkut dalam kebijakan operasional yang rasional. Sebut saja satu tema yang layak kritik secara obyektif? 
 
Tiga Periode atau Perpanjangan Jabatan itu non-sen. Kenaikan2 harga komoditi, bukankah hal itu yang paling ajeg sejak zaman kadal makan sushi. Salah pilih Mentri, adakah orang yang tepat di situasi yang nis-kala. Oligarki? Bukankah itu cara hari ini orang pansos atau bertahan tetap kaya. Mengkritiknya, salah2 hanya dituduh sebagai cara kita ingin masuk menggantikannya.
Tak ada satu pun, kecuali kita mengada-ada. 
 
Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Bang Ade. Kalau dalam perspektif Jawa ia sedang "menyempurnakan eksistensinya", apa yang disebut "nyampurnaning laku". Ia tak pernah menerima bayaran, dalam arti materiel dalam gerakan sosialnya. Kalau iya, kenapa juga ia setolol itu. Apa yang dipikir orang bayaran, pertama2 tentulah meminimalkan resiko. Demikianlah watak umum manusia hari ini, kenapa sikap berani cuma beda tipis dengan konyol. Sikap jujur tak lebih baik dari orang dungu, danseterusnya.
 
Dan tentu karena ia bukan itu, maka ia ada di sana. Ia sedang menjemput bayarannya sendiri: setelah cibiran, hinaan, pelaporan polisi yang puluhan kali itu. Ia lalu babak belur dipukuli oleh para pembencinya. Sesuatu yang terukur secara resiko, tapi toh terjadi juga. Membuktikan bahwa tak hanya impian yang harus dijemput, tapi terkadang musibah juga. Ia tanpa diduga menempatkan dirinya sebagai dupa yang bersedia dibakar, atau tebaran bunga wangi yang sekedar disebar di jalanan. 
 
Saya prihatin, tapi tidak sedih. Saya mengecam kelakuan para penganiayanya, tapi dalam hati lirih berterima kasih. Para penganiaya itu telah "menyempurnakan" keihklasan Ade Armando dalam langkah perjuangannya. 
 
Apa yang diyakininya dengan teguh, apa yang tak semua orang dengan mudah melihat dan memahaminya...


NB: Usia Bang Ade 60 tahun, tepat setahun yang lalu. Sebuah usia yang semestinya tak lagi membuatnya berkeliaran di jalanan. Tapi istri dan anaknya, telah merelakan setiap langkahnya. Mereka tak lagi risau akan segenap cibiran dan hinaan, tak lagi galau ketika ia dilaporkan ke polisi. Tapi dipukuli oleh massa jalanan, tentu saja itu soal lain. Semoga mereka tabah, kuat, dan tak henti terus mendukungnya.
 
Bang Ade telah menciptakan legacy-nya sendiri. Ia selalu beda dengan siapa pun yang ada di lingkungannya. Di luar para penggiat medsos, yang penuh haha hihi, ia tetaplah orang yang mengedepankan logika dan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Di luar para pengejar tahta dan kuasa, ia tetaplah teguh berdiri di luar dengan sikap kritisnya. Ia adalah idola dalam pilihan yang sulit. 
 
Ia mungkin mendapat simpati, empati bahkan antipati. Tapi barangkali juga tak terlalu butuh. Bahkan mungkin sudah sulit membedakannya. Ia adalah seorang lonely ranger. Manusia langka, yang entah kapan hadir lagi dari institusi yang terus gelisah dan berubah seperti UI. Satu-satunya cara saya memahami, mungkin karena ia seorang UI sejati. Ia selalu ada "untuk indonesia.

0 Komentar

Posting Komentar
HarianMerdeka Network mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.Kirim lewat WA Center: 085951756703
DMCA.com Protection Status