Polemik Komunikasi Politik dalam Forum Cluster Koalisi

 


HARIANMERDEKA.ID-Memasuki Minggu pertama pada awal tahun 2023 ini, suara publik masih banyak yang menunggu informasi atas kepastian politik hingga memasuki musim kampanye tahun depan. Koalisi partai nasionalis dan agamis kali ini tidak seperti biasanya, jika pada waktu lalu PDI Perjuangan sebagai pengusung disertai partai-partai lain yang ikut didalamnya, maka untuk pilpres 2024 disinyalir sedikit berbeda, sebab kuotanya menjadi sama berimbang. 

Sebab pada pilpres kali ini PDI Perjuangan memiliki jumlah kursi sebanyak 128 kursi sehingga tanpa berpasangan dengan partai mana pun mereka dapat menunjuk capresnya secara sepihak. Fakta ini harus dicermati oleh parpol-parpol lain dibalik bisunya partai ini ditengah dinamika internal parpol yang mengemuka antara trah Soekarno dan Ganjar Pranowo sebagai Kader mereka yang akan diputuskan pada momentum last minute sebagaimana biasanya.

Namun kali ini bukan sekedar maraknya animo capres saja yang menjadi magnet dari nuansa politik pada pemilu dan pilpres 2024 yang akan datang.

Sebab bicara mengenai estafet kepemimpinan dan prestasi Jokowi tentu saja tidak akan ada habisnya dibalik fakta keberhasilan pembangunan dan kokohnya ekonomi Indonesia saat ini yang dirasakan rakyat, serta kiprah internasional yang dimainkannya pada percaturan dunia selama beliau menjabat hingga di penghujung masa jabatannya nanti. 

Termasuk bagaimana dirinya menjadi bersikap tegas ketika berhadapan dengan eksport nikel dan pengambil-alihan saham-saham perusahaan asing di Indonesia yang telah habis masa kontrak kerjanya dan merebutnya pada musim perpanjangan kontrak tersebut demi menguasai seluruh kepentingan aset-aset nasional.

Memimpin negeri yang di incar para kadrun ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi gerakan khilafah yang sarat akan intoleransi itu merangkul banyak pihak dan menyebar di seluruh lembaga negara, termasuk menyusup ditengah-tengah institusi TNI dan Polri sekalipun.

Tak khayal lagi jika masyarakat beserta ormasnya mematok harga mati untuk sosok capres yang diusungnya melalui inisiatif keberpihakkan terhadap penguatan sikap Nasionalisme kebangsaan yang come back sebagai sumbu naiknya atmosfer politik oleh mereka yang berbasis islam nusantara dan kelompok-kelompok budaya serta komponen non muslim yang menyuarakannya.

Tentu saja bukan sekedar keinginan rakyat semata yang muncul sebagai hitung-hitungan politik yang terkait kearah sana. Sebagai partai politik, walau kuota PDI Perjuangan memenuhi syarat ambang batas Presidential threshold yang ditetapkan KPU sebanyak 115 kursi DPR-RI.

Namun hal itu mendatangkan rasa gentarnya ketika berhadapan langsung dengan kubu intoleran yang terstruktur, sistematis dan masif diberbagai wilayah tanah air Indonesia. Apalagi adanya beberapa kepala daerah yang tidak seluruhnya merupakan kader-kader PDI Perjuangan

Bahkan para kepala daerah itu banyak yang merupakan kader partai lain, sebut saja apa yang disampaikan oleh Politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Irma Suryani Chaniago yang menyebutkan jika partainya moncer di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Hingga tercatat, ada 90 kader menang mereka yang menang di 132 dari 270 daerah pemilihan.

Angka tersebut belum termasuk jika pembentukan koalisi antara partai Nasdem, PKS dan Demokrat berhasil terbentuk. Dimana jumlah kursi DPR-RI dan penguasaan kepala daerah dari partai-partai mitra koalisinya menjadi pantas untuk mendatangkan kekhawatiran tersendiri, sebab mereka pun memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan pilpres 2024 nantinya. 

Sehingga peta kepentingan politik mendatang, menjadi suatu kemutlakan bahwa keberadaan parpol-parpol lain selaku mitra koalisi seperti kondisi saat ini semakin nampak ikut mempengaruhi kemenangan. Apalagi keberadaan ormas-ormas yang memunculkan nama-nama capres tersebut, hanya sebatas menjadi supporting unit oleh karena mereka bukanlah bagian dari infrastruktur demokrasi formal sebagaimana yang kita ketahui.

Jika PDI Perjuangan telah di posisi parpol yang memenuhi ambang batas Presidential Threshold, maka demi konstelasi perimbangan kekuatan mitra koalisinya, maka partai Gerindra dengan jumlah 78 Kursi merangkul PKB yang memiliki  sebanyak 58 kursi dengan total gabungan tersebut berjumlah 136 kursi.

Artinya koalisi Gerindra-PKB pun memenuhi syarat ambang batas tersebut. Demikian pula terhadap KIB yang terdiri dari Golkar 85 kursi, PAN 44 kursi dan PPP 19 kursi, maka jumlah koalisi mereka memiliki jumlah keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak 148 kursi yang sama-sama melampaui syarat Presidential threshold tersebut. 

Fakta inilah yang membuktikan bahwa koalisi pemerintahan saat ini mutlak harus diteruskan, meski keluarnya Nasdem digantikan oleh Gerindra dan PAN sebagai mitra koalisi baru ke depan.

Dari tiga pihak yang memenuhi Presidential Threshold tersebut, maka akan sulit bagi masing-masing pihak untuk memastikan kemenangan pilpres 2024 nanti, sekiranya saling memunculkan capres dan cawapresnya yang tentu akan saling berhadapan antara satu dan lainnya, terlebih lagi menghadapi koalisi Nasdem 59 kursi, Demokrat 54 kursi dan PKS 50 kursi dimana jumlah koalisi mereka sebanyak 163 kursi.

Potensi ini tentu bukan angka sederhana yang dapat dinafikan begitu saja, mengingat keterwakilan para legislatif mereka di Senayan tentu merupakan orang-orang yang memenangkan pertarungan dari setiap zona elektoral yang berhasil mereka taklukkan. 

Apalagi dugaan publik yang menyebutkan jika PDI Perjuangan akan melawan kehendak rakyat, sekaligus memaksakan capresnya yang tidak disepakati oleh Koalisi Gerindra dan PKB ( Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya / KIR ) serta KIB yang dipimpin Airlangga Hartarto tersebut.

Tentu saja pendapat itu terlihat bodoh dan menganggap jika PDI Perjuangan adalah partai yang hadir sebatas kemaren sore. Kesadaran akan Kaolisi terhadap partai-partai yang memiliki visi dan misi yang sama merupakan fakta yang tak terhindarkan.

Sebab kemenangan hanya akan terjadi jika para faksi itu menggabungkan diri mereka kedalam Cluster Koalisi untuk membentuk barisan kuat dan besar dari para pihak yang memiliki zona elektoralnya masing-masing. Apalagi kepentingan berlanjutnya estafet kepemimpinan pasca berakhirnya masa tugas Jokowi dan diteruskannya agenda perjuangan atas program Nawacita yang digagas oleh Soekarno di republik ini. 

Sehingga dugaan kebijakan Ketua Umum PDI Perjuangan pastinya akan mengarah kepada landasan pemikiran diatas, walau publik menjadi kurang sabar oleh strategi politik Last Minute yang biasa beliau terapkan.


Penulis : Andi Salim



0 Komentar

Posting Komentar
HarianMerdeka Network mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.Kirim lewat WA Center: 085951756703
DMCA.com Protection Status