Azzam Mujahid Sentil Pemerintah: Status Bencana Nasional Bukan Perlawanan, tapi Suara Korban

 

Gambar Ilustrasi 


HARIANMERDEKA.ID, Jakarta - Pernyataan terbaru Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya terkait penanganan bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menuai tanggapan kritis dari masyarakat sipil. Salah satunya datang dari Azzam Mujahid Izzulhaq, yang menilai bahwa penanganan skala nasional tanpa penetapan status bencana nasional masih menyisakan persoalan serius di lapangan.


Melalui akun media sosial X (Twitter) pribadinya, @AzzamIzzulhaq, Azzam mengapresiasi langkah pemerintah yang sejak awal bencana pada 26 November 2025 telah memobilisasi lebih dari 50 ribu personel, mengerahkan alat berat, kapal, dan pesawat, serta mengalokasikan dana APBN sebesar Rp60 triliun untuk penanganan dan pemulihan.


Namun demikian, ia menegaskan bahwa apresiasi tersebut tidak boleh menutup ruang kritik konstruktif dari warga, korban, dan relawan yang terjun langsung di lokasi terdampak.


“Usulan penetapan status bencana nasional jangan dianggap sebagai bentuk perlawanan atau kritik destruktif terhadap pemerintah. Ini adalah suara langsung dari lapangan yang melihat dampak bencana secara nyata,” tulis Azzam Sabtu (20/12).


Menurutnya, penetapan status bencana nasional justru dapat memperkuat koordinasi lintas sektor dan membuka akses bantuan internasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ia menilai, langkah tersebut tidak serta-merta meniadakan atau mengecilkan upaya pemerintah yang telah berjalan.


Selain soal status bencana, Azzam juga menyoroti lemahnya komunikasi publik pemerintah. Ia mengusulkan agar pemerintah menggelar konferensi pers harian langsung dari Pusat Komando Penanggulangan Bencana untuk menyampaikan perkembangan penanganan secara transparan dan terukur.


“Publik perlu tahu wilayah mana yang sudah tertangani, seperti pembukaan akses darat ke Aceh Tamiang, dan wilayah mana yang masih kritis, termasuk desa-desa terisolir di 12 kecamatan terdampak,” ujarnya.


Ia juga mendorong pemerintah menyediakan hotline khusus yang mudah diakses masyarakat terdampak, agar laporan kebutuhan logistik dan kondisi darurat bisa langsung diteruskan ke TNI, Polri, atau BNPB, sebagaimana yang kerap disampaikan oleh Seskab sendiri.


Lebih jauh, Azzam mengkritik narasi pemerintah yang cenderung defensif ketika laporan relawan di media sosial lebih viral dibandingkan informasi resmi negara. Menurutnya, menyalahkan relawan atau menuding penggiringan opini negatif justru memperburuk kepercayaan publik.


“Jika narasi relawan lebih dipercaya, solusinya bukan gaslighting atau membandingkan siapa yang paling berjasa, tapi membenahi tata kelola komunikasi pemerintah sendiri,” tegasnya.


Azzam bahkan menyebut bahwa sebagian opini negatif justru lahir dari pernyataan-pernyataan pemerintah yang tidak sensitif dan kontraproduktif. Ia menilai kolaborasi dengan relawan untuk mengamplifikasi informasi positif melalui kanal resmi pemerintah jauh lebih dibutuhkan ketimbang saling menyalahkan.


Menutup pernyataannya, Azzam mengajak seluruh pihak untuk menghentikan polemik status dan ego komunikasi, serta kembali memusatkan perhatian pada korban dan pemulihan jangka panjang wilayah terdampak.