Pendopo, Waktu, dan Ujian Kepemimpinan

 

Ilustrasi Pendopo Bupati Brebes



HARIANMERDEKA.ID- Pendopo bupati bukan sekadar bangunan pemerintahan. Ia adalah simbol keterbukaan negara kepada rakyatnya. Karena itu, peristiwa batalnya audiensi Komite Percepatan Pemekaran Kabupaten Brebes dengan Bupati Brebes pada 15 Desember 2025 tidak boleh diperlakukan sebagai persoalan teknis semata.


Yang terjadi hari itu adalah ujian kepemimpinan dan kepekaan politik.

Masyarakat Brebes Selatan datang dengan harapan besar. Mereka menempuh perjalanan jauh, membawa aspirasi lama yang selama ini merasa berjalan di tempat. Permohonan audiensi telah disampaikan secara resmi, komunikasi berlangsung intens, dan bahkan kesiapan teknis telah disepakati. Artinya, tidak ada alasan untuk menganggap kehadiran masyarakat sebagai tindakan spontan atau tidak terkoordinasi.

Namun negara, dalam praktiknya, tidak cukup hadir melalui administrasi. Negara harus hadir secara nyata melalui pemimpinnya.


Klarifikasi Bupati Brebes yang menyatakan tidak menolak audiensi dan masih menjalankan agenda kedinasan patut dihargai. Akan tetapi, dalam konteks demokrasi lokal, soal waktu bukan hanya perkara jadwal, melainkan soal penghormatan. Ketika rakyat menunggu tanpa kepastian, rasa dihargai perlahan berubah menjadi kekecewaan.


Pemekaran wilayah bukan isu remeh. Ia adalah ekspresi dari ketimpangan pembangunan, keterbatasan layanan publik, dan kerinduan akan keadilan. Karena itu, pendekatan terhadap isu ini tidak boleh sekadar birokratis dan prosedural. Ia membutuhkan empati, komunikasi yang jelas, serta keberanian politik untuk mendengar secara langsung.


Peristiwa ini juga memperlihatkan rapuhnya mekanisme dialog antara pemerintah daerah dan masyarakat. Ketika tidak ada kepastian waktu, ruang dialog berubah menjadi ruang tafsir, dan tafsir publik sering kali berujung pada ketidakpercayaan.


HarianMerdeka.id memandang bahwa yang dibutuhkan saat ini bukan saling menyalahkan, melainkan pembenahan serius cara pemerintah merespons aspirasi rakyat. Pemerintah daerah perlu memastikan setiap audiensi publik memiliki kepastian, transparansi, dan komitmen waktu yang jelas. Sementara itu, masyarakat sipil harus tetap menjaga soliditas perjuangan agar aspirasi tidak tergerus oleh dinamika lapangan.


Pendopo yang sepi sore itu seharusnya menjadi pelajaran berharga. Demokrasi tidak runtuh karena perbedaan pendapat, tetapi bisa retak karena rasa tidak didengar.


Jika pemerintah daerah mampu menjadikan peristiwa ini sebagai momentum evaluasi, maka kegagalan audiensi bukanlah akhir dari dialog, melainkan awal dari komunikasi yang lebih dewasa, setara, dan bermartabat.

Karena pada akhirnya, kepemimpinan diuji bukan saat podium ramai, tetapi saat rakyat menunggu dan berharap untuk didengar.