Segitiga Api dan FPI

HARIAN MERDEKA.ID| Di Jakarta, sejak lama ada tiga titik rawan yang paling mudah terbakar. Jangankan di "masa resah", di masa damai sekalipun situs-situs ini gampang rusuh. Oleh perbagai sebab, gesekan massa di wilayah ini sangat mudah terjadi. Dari pembagian wilayah parkir, rebutan cewek, hingga sekedar saling mempelototi. Jadi tidak aneh, bila si think tank atau aktor intelektual atau perancang kerusuhan memusatkan diri pada ketiga titik ini.

Ketiga situs ini adalah Petamburan yang sangat dekat dengan Tanah Abang, yang secara geografis saat ini berada paling dekat dengan Bawaslu dan KPU. Dapat dipahami kan, kenapa FPI bersarang dan bersembunyi di dekat wilayah ini. Agak aneh atau malah gampang dipahami, kenapa kemarin pasangan 02 kalah di wilayah ini. Alasan jengah atau bosan,mungkin di antara kedua alasan itu. Kedua, wilayah Slipi hingga Kemanggisan. Tak jauh dari kawasan ini, kok ndilalah-nya kantor GOLKAR terletak. Gak ada hubungannya emang, tapi jelas kantor2 parpol busuk di masa lalu butuh perlindungan sosial dan keamanan seperti ini. Dan ketiga, kawasan Gambir (khususnya Johar Baru). Kawasan yang dari zaman ke zaman, paling hobby tawuran. Damai adalah barang mewah di wilayah ini. Sialnya, situs ini adalah yang paling dekat dengan pusat kekuasaan, ya Istana, ya Balikota, kantor2 kementrian strategis, dsb-nya. Ketiganya mempunyai persamaan khusus: punya wilayah tawur yang terbuka, namun sekaligus gang-gang sempit untuk lari bersembunyi. Jadi sampai disini bisa pham kan, kenapa Kerusuhan 22 Mei adalah 100% by design dan sudah sejak lama direncanakan!

Hal ini juga cukup menjelaskan kenapa wacana awal People Power, kemudian diganti dengan teks "Gerakan Kedaulatan Rakyat". Karena sebenarnya warga di ketiga wilayah tersebut sudah cukup bosan dengan gerak-gerik yang telah menjadi bagian keseharian mereka. Kalau pun mereka mau bergerak, tarifnya sudah teralu mahal! Hermawan Sulistyo, yang mantan pemain kayak2 beginian mensinyalir bila ongkos per-orangnya yang semula diduga cukup 200 ribu, ternyata sudah mundak, naik jadi minimal 300 ribu. Itu untuk hitungan per-hari! Mangka tak aneh2 amat jika ditemukan amplop2 senilai itu. Lalu untuk memanipulasi jejak dan menghemat ongkos, didatangkanlah para pendemo dari luar daerah, yang belakangan kita tahu sudah cukup dapat mentoring sejak dari daerah. Mereka sudah cukup banyak diberitahu, tatacara membuat "kekacauan dan kerusuhan".

Mereka telah diberitahu kemana harus maju dan kemana bila hars mundur. Ada pola yang cukup absurd untuk menduga mereka orang polos, ketika mereka gantian maju mundur untuk menghemat tenaga dan menjaga stamina. Dibanding dengan para polisi yang harus terus bertahan, tentu para penyerang ini di luar jumlahnya lebih banyak, mereka bisa saling bertukar posisi. Anak hobi demo pasti sangat paham dengan pola kuno dan standar seperti ini. Hal ini juga menjelaskan kenapa orang seperti Amien Rais atau Titiek Prabowo, bisa memanipulasi dirinya dengan menunjukkan dirinya mau mendatangi para pengunjuk rasa. Mereka tentu ada dibarisan paling belakang, paling aman! Perilaku pengecut dan salon seperti ini yang paling menjijikkan! Di satu sisi, jika berhasil mereka akan muncul sebagai hero yang seolah tanpa takut. Tapi kalau kalah atau disalahkan, mereka justru akan bilang sudah berusaha menenangkan dan mengendalikan para pendukungnya. Cih!

Lalu ada fenomena cukup aneh yang terjadi, ketika FPI malah membantu polisi untuk menghalau para perusuh mundur. Kenapa? Mereka bukan saja sadar, bahwa dukungannya kepada Prabowo itu tidak diterima dengan tulus. Mana pernah Perbowo tulus, hiks! Namun mereka haqul sadar bahwa mereka akan menjadi kelompok yang paling dipersalahkan. Bukan saja karena "politik identitas" mereka, tapi karena dukungan mereka yang membabi buta terhadap PS. Jangan lupa, sejelek-jelek FPI mereka ini di tahun 1998 justru menjadi pembela pemerintahan yang sah. Mereka adalah jelmaan dari Pamswarkarsa yang dulu justru dibentuk dan digunakan untuk menghalau para perusuh. Apa yang kemudan dipahami sebagai "rakyat melawan rakyat". Itu kala, ketika Polisi mulai sangat hati-hati dan tidak mau terjebak pada apa yang kemudian disebut pelanggaran HAM. Mangkanya, bahkan sampai detik ini pun terlihat polisi sangat hati-hati menangani kerusuhan, mereka tak dibekali peluru panas. Padahal yang dihadapi jelas-jelas bawa senjata tajam, pistol, dan bakan telah menyiapkan sniper. Polisi maksimal hanya disangoni gas air mata dan peluru karet.

Jadi agak aneh, kalau ada bikin hoaks ditemukan peluru tajam di mobil polisi. Saya pikir, saat inilah ujian paling nyata dan serius tatkla polisi harus menghadapi sejenis "amuk massa". Menangani terorisme itu relatif mudah, tapi menghadapi kerumunan yang crowded yang telah didesain dan disiapkan sedemikian rupa itu urusan lain. Semoga mereka mampu! Mampu!

Fenomena muthakir di atas menunjukkan bahwa tidak ada kawan atau musuh abadi dalam politik. Yang ada adalah sakit hati yang permanen! Di satu sisi, ada orang seperti Amien Rais yang tak akan pernah sembuh hingga ajal menjemputnya. Di sisi lain ada keluarga Cendana yang sekedar ingin mempertahankan warisan kekayaannya. Dua orang yang dulu saling memusuhi, dan sekarang bergandengan tangan!

Dan jangan salah: Prabowo adalah alatnya! Menyesakkan, tapi tak perlu dikasihani. Menjelaskan kenapa ia harus membuat surat wasiat! Mungkin seperti yang beberapa waktu pernah disinyalir para indigo itu, riwayatnya memang segera benar2 tamat. Entah riwayat politiknya, entah riwayat hidupnya.

Riwayat yang selamanya akan ditulis dengan kelam!

0 Komentar

Posting Komentar
HarianMerdeka Network mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.Kirim lewat WA Center: 085951756703
DMCA.com Protection Status